PROBLEMATIKA PENERAPAN HUKUM BARAT DENGAN MASYARAKAT NON BARAT (Ditinjau Dari Perspektif Agraria)

oleh : Arming, S.H

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Fenomena adaptasi secara keseluruhan dari hukum asing adalah bukan hal yang baru suatu preseden yang penting diberikan oleh persepsi hukum Romawi di Eropa barat selama bagian terkhir dari abat pertengan Eropa. Akan tetapi, presepsi dari hukum asing adalah sama sekali lain bila mana hal itu terjadi dalam suatu konteks dominasi politik asing, sebagaimana yang terjadi dengan pengambil alihan hukum barat di Asia dan Afrika, hal ini tidaklah demikian dengan kasus resepsi Eropa atas hukum Romawi, sewaktu hukum asing (Romawi) secara berangsur-angsur mulai digunakan oleh kekuasaan-kekuasaan politik bebas dan oleh kelompok-kelompok ekonomi bebas untuk melayani kepenting mereka sendiri bukan kepentingan asing manapun bukan menciptakan dependensi kultural apapun.
Dalam hal ini jika dipandang secara historis, di Negeri-Negeri bekas kolonial seperti Indonesia, hukum formal merupakan perangkat yang pernah dipakai oleh pemerintah kolonial untuk mengetatkan daya cengkeram mereka atas pribumi dan sumber daya alam yang dikuasai pribumi. Hukum kolonial tersebut, masih terus dipakai hingga kini, tidak hanya substansinya tetapi juga seringkali spiritnya yang menindas dan mengeksploitasi pada masyarakat pribumi khususnya. Karena itu, pembaruan hukum dalam konteks negara post-kolonial seperti di Indonesia, tak pelak lagi berhadapan dengan segala infrastruktur hukum yang memang dicangkokan (legal transplantation) mendekati utuh dari Negeri Belanda secara mutlak. Tanpa proses reflektif yang lebih dalam untuk memeriksa ulang warisan-warisan Belanda tersebut, pemerintah tetap mengikuti warisan-warisan itu secara serampangan. Pada titik ini, persoalan lain segera menunggu. Hukum yang dicangkokan buta terhadap realitas social di Negara Indonesia, sehingga ketika diterapkan, seringkali menjadi akar kekerasan struktural yang menghantam dengan keras hak-hak masyarakat lokal yang bernaung di bawah kekuatan hukum lokal. Inilah salah satu masalah yang terus diwariskan dalam tradisi hukum Indonesia. Apakah ini suatu ketidak mampuan Negara Indonesia untuk membentuk hukum sendiri (hukum dalam realitas sosial).
Transplantansi secara etimologis berarti pencangkokan. Dalam konteks hukum, transplantasi berawal dari warisan hukum kolonial Belanda di Negara-Negara bekas jajahan dimana, hukum-hukum itu serta merta digunakan sebagai bagian dari hukum Negara merdeka. Tetapi penggunaan tersebut menyimpan persoalan kontekstualisasi hukum yang seringkali berbeda antara negara tempat bersemainya pemikiran, azas dan rumusan-rumusan hukum dengan tempat penggunaannya. Selanjutnya, seperti lingkaran setan, Negara-Negara bekas kolonial terjebak kesulitan serius untuk melepaskan diri dari hukum kolonial karena senantiasa diproduksi dan direproduksi ulang dalam hukum-hukum lain di level makro maupun peraturan-peraturan dan lembaga pelaksana yang menjalanankan hukum itu sendiri.
Warisan tersebut juga menjelma dalam substansi peraturan agraria mengenai (bumi, air dan ruang angkasa) dan Sumber Daya Alam (pertambangan, hutan, tanah, pesisir, laut dan daerah aliran sungai) terutama untuk memeriksa bagaimana dan apa konsekuensi warisan tersebut ketika bertemu dengan hukum-hukum lokal yang berbasis pada identitas lokal masyarakat adat. Uraian akan berawal dari persoalan transplantasi substansi hukum agraria yang menimbulkan persoalan dalam hukum dan juga konflik lapangan. Persoalan ini akan diperiksa lebih luas dalam gagasan-gagasan hukum yang memperlihatkan bahwa masalah transplantasi hukum tidak hanya persoalan asimestris konsep hukum barat dalam konteks Indonesia tetapi juga pada gagasan, pengetahuan dan sejarah yang membingkainya.
Dengan itu juga sejalan Negara Indonesia yang menyatakan diri sebagai Negara hukum yang sebagian besar produk hukum yang dilahirkan melalui peraturan perundang-undang tertulis, masih banyak isi muatannya yang mengalir budaya-budaya hukum barat, padahal diketahui bahwa hukum barat sebagai peninggalan kolonial tersebut, tidaklah sesuai secara untuh dengan kehidupan masyarakat bangasa Indonesia pada khususnya, sehingga perlu dipertanyakan bahwa sampai sekarang Negara Indonesia mengalami ketidak mampuan dalam menciptakan hukum yang sesuai dengan masyarakat adat Indonesia, dilatarbelakangi oleh faktor-faktor apa saja. Dengan demikian penulis akan menjawab dari permasalahan yang telah terpaparkan di atas.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah dampak pemberlakuan hukum barat di Indonesia mengenai agraria?
2. Faktor-faktor apakah yang mengakibatkan negara indonesia masih menganut hukum barat sehingga mempengaruhi masyarakat non barat?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dampak pemberlakuan hukum barat di Indonesia mengenai agraria.
2. Untuk mengetahui secara mendalam faktor-faktor apakah yang mengakibatkan Negara Indonesia masih menganut hukum barat sehingga mempengaruhi masyarakat non barat.


















BAB II
PEMBAHASAN
A. Apakah Dampak Pemberlakuan Hukum Barat Di Indonesia Mengenai Agraria
Pada mulanya, sebelum masuknya orang asing ke Indonesia maka secara murni yang berlaku adalah hukum adat. Setelah kedatangan kolonial Belanda yang membawa hukumnya sendiri mulai menimbulkan akibat berlakunya dualisme hukum. Bahkan terjadi hukum antar golongan yang pada akhirnya menyebabkan pluralisme hukum.
Pengaruh kolonialis Belanda sangat mempengaruhi perkembangan hukum agraria di Indonesia. Eksistensi hukum barat dalam masyarakat-masyarakat non barat mempunyai, dalam arti yang penting, problem-problem kontra kultural yang diinternalisasikan, malah juga konflik, antara kebudayaan pribumi dan kebudayaan barat. Satu akibat daripadanya adalah sautu dualisme yang mendalam pada taraf institusi-institusi dan praktek-praktek institusi-institusi hukum akan kuasi hukum pribumi berada berdampingan dengan institusi-isntitusi praktik-praktik barat, akan tetapi juga di dalam sifat rakyat. Sering kali, sikap rakyat terhadap hukum corak barat adalah sikap tidak peduli kadang-kadang bermusuhan. Sebagaimana dikemukakan salah seorang ilmuan Jepang, “bagi seorang Jepang terhormat hukum adalah suatu yang tidak disukai, malah dibenci mengajukan orang kepengadilan untuk menjamin perlindungan atas kepentingan kita atau untuk disebut di dalam pengadilan meskipun dalam urusan perdata, adalah sautu hal yang memalukan” pandangan-pandang yang sama dapat dikutip dari masyarakat-masyarakat asia lainnya. Sikap negatif terhadap hukum corak barat ini sering kali dijelaskan sebagai manifestasi dari kesadaran hukum atau kesadaran hak-hak yang hampir belum berkembang. akan tetapi, penjelasan-penjelasan seperti itu adalah sangat problematis, mengingat fakta-fakta bahwa rakyat mempunyai pengalaman-pengalaman sadar akan tidak adanya keadilan dan kemarahan moral, meskipun merka tidak menyatakannya dengan lari pada pengadilan umum yang ada disutu Negara tersebut.
Dari hal yang terpaparkan di atas melihat di Negara Indonesia banyak sekali peraturan-peraturan yang diadopsi di Negara Indonesia menjelmakan hukum kolonial, yang dimana hal tersebut selalu menimbulkan pro dan kontra dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya mengenai agraria (masalah pertanahan yang dimiliki oleh masyarakat adat) pada “khusunya”. Dalam banyak studi tentang warisan kolonial hukum agraria sekurang-kurangnya, ada dua warisan besar secara substansi hukum agraria kolonial Belanda ke dalam hukum Indonesia masa kini yang sering menjadi perdebatan pada kalangan akademisi: pertama, domein verklaring yang direproduksi lewat konsep Hak Menguasai Negara (HMN) dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) . Disana Negara memiliki tiga kewenangan pokok, yakni: (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria; (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Secara atributif, HMN dapat dikuasakan kepada pemerintah, masyarakat hukum adat dan daerah-daerah swatantra, sehingga HMN bisa diterjemahkan sebagai hak ulayat masyarakat adat yang berada pada level lokal.
Namun, dalam berbagai undang-undang sektoral, konsep HMN menyempit. UU Kehutanan menyebut HMN memberi wewenang kepada pemerintah, secara khusus Menteri Kehutanan untuk menjalankan kewenangan (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. UU sumber daya air juga memberi kewenangan penyeleggaraan penguasaan air kepada pemerintah/pemerintah daerah.
Kecenderungan HMN ini, meski terlalu simplistis, paling tidak memperlihatkan bahwa posisi masyarakat adat yang diatur secara setara dengan pemerintah dalam rezim UUPA, nampaknya ditelikung menjadi relasi yang subordinat dengan pemerintah. Ketimpangan relasi diikuti dengan mengecilnya hubungan masyarakat adat dengan sumber-sumber agraria. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air mensyaratkan pengakuan hukum sebagai basis legal sebelum masyarakat adat memiliki akses terhadap agraria dan sumber daya alam. Dalam hal ini, ada dua bentuk pengembangan baru atas rezim HMN, yakni: (1) untuk memperoleh haknya sebagai masyarakat adat, berbagai undang-undang ini mensyaratkan adanya pengakuan hukum yang diikuti oleh perangkat prosedur sebagai konsekuensi hukum untuk memastikan ukuran, tahapan dan standar hukum yang sedapat mungkin seragam sifatnya. (2) Hak penguasaan adat yang selevel dengan HMN dalam rezim UUPA dikurangi menjadi hak berbasis rezim perijinan. Disana, untuk mendapatkan hak tertentu atas hutan, masyarakat adat harus mengikuti sejumlah prosedur tertentu.
Persoalannya menjadi lebih rumit karena untuk mendapatkan hak memanfaatkan hasil hutan, masyarakat (hukum) adat harus melalui tahapan yang berlapis. Menurut temuan Rikardo Simarmata, setidaknya ada tiga langkah yang harus ditempuh yakni (1) harus diakui keberadaannya oleh pemerintah provinsi; (2) areal hutan adatnya harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan; (3) Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota memberikan ijin pemanfaatan hasil hutan. Tahapan-tahapan tersebut, demikian rumitnya (birokratis, tidak ramah, high cost), sehingga hampir-hampir sulit ditempuh oleh masyarakat adat yang tidak terbiasa dengan prosedur formal. Dalam hal ini, hukum Negara sudah tidak lagi mengakui rezim penguasaan adat karena dengan menempatkannya dalam rezim perijinan, segera tertera implikasi konsep perijinan bahwa hak tradisional adat adalah sesuatu yang dilarang atau tidak boleh dikerjakan tapi atas ijin pejabat yang berwenang, penguasaan tersebut boleh dikerjakan dengan membayar pajak, sebagai syaratnya.
Kedua, UUPA mewarisi rezim property rights hukum Barat, seperti pembagian jenis hak dalam pasal 16 maupun berbagai jenis hak lainnya dalam berbagai UU sektoral tetapi juga dalam prakteknya diterapkan di atas wilayah-wilayah tradisional yang tidak mengenal rezim hak tersebut. Sejumlah studi-studi empirik memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata antara hak kategoris dan hak konkrit. Hak kategoris adalah konsep hukum yang membentuk hubungan umum hak antara kategori individu atau kelompok dengan kategori sumber daya. Contoh, kategori kepemilikan, hak pengusahaan hutan, hak guna usaha, hak pengelolaan, hak pakai. Hak kategoris mencakup aturan-aturan dan prinsip-prinsip umum yang diungkapkan dalam istilah-istilah umum dimana tanah, air dan secara mudah diperoleh, dipindahkan maupun dialihkan. Hak konkrit, sebaliknya, hubungan hak dibentuk antara orang atau kelompok konkrit dengan sumber daya konkrit, dimana kriteria hukum dari kategori hak, hadir dalam hubungan sosial yang konkret. Dalam konteks ini, hak privat yang diagung-agungkan dan ditulis ulang dalam UUPA, seringkali tidak kompatibel dengan kondisi empirik dalam hubungan hak di Indonesia.
Sehingga secara esensial dengan adanya pemberlakuan hukum barat terhadap masyarakat non barat seperti di Negara Indonesia, mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap tingkat pemahaman masyarakat khususnya dibidang agraria.

B. Faktor-Faktor Apakah Yang Mengakibatkan Negara Indonesia Masih Menganut Hukum Barat Sehingga Mempengaruhi Masyarakat Non Barat
Dalam sistem hukum Indonesia saat ini, beberapa pakar berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem hukum campuran atau yang lebih dikenal disebut mixed legal system.
Model mixed legal system atau sistem hukum campuran dapat terjadi karena sejarah pengaruh hukum asing dalam hukum lokal yang dianut oleh negara tersebut atau dapat pula terjadi karena pengaruh dari hukum internasional yang diadopsi oleh negara sebagai bagian dari komunitas internasional (translokasi hukum/ translocation of laws atau transplantasi hukum/ legal transplants).
Kendati banyak negara menerapkan model mixed legal system, namun antara satu dengan lainnya berbeda-beda variasinya. Bukan sekadar varian substantif dari sistem-sistem yang menjadi campuran, tetapi juga pola struktur dan kecenderungan budaya hukumnya. Variasi sistem-sistem hukum itu bisa dalam suatu dominasi satu sistem terhadap sistem hukum yang berlaku lainnya atau juga dapat berupa bentuk yang lain yakni beberapa sistem hukum diperlakukan secara bersamaan dengan konsep harmonisasi.
Dengan kondisi pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia maka sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum campuran (mixed legal system) dengan sistem hukum utamanya yaitu sistem hukum Eropa Kontinental (Romano-Germanic Legal System atau disebut juga Hukum Sipil/ Civil Law). Sistem hukum yang lebih mengarah kepada sistem hukum Eropa Kontinental tersebut dilatarbelakangi hubungan sejarah Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, dimana sistem hukum yang dianut negeri Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontintal. Selain berdasarkan pada sejarah pengaruh hukum asing di atas, dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum campuran adalah dikarenakan beberapa hal seperti :
1. Dilihat dari substansi hukum asas dan kaidah hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
4. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Misalnya peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri, peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan lain sebagainya.
5. Masuknya pengaruh hukum asing (foreign law) yang bersumber dari tradisi common law. Dalam hal ini banyak bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan hukum ekonomi (economic law). Ketentuan-ketentuan UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai misal telah mengadopsi lembaga hukum yang bersumber dari tradisi common law tersebut. Contoh lain dapat dikemukakan atas keberadaan UU Kepailitan, UU Antimonopoli, juga sejumlah undang-undang HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).
Dianutnya sistem hukum campuran oleh negara Indonesia, yang secara umum berkarakter asli tradisi civil law (civilian in origin), diperkaya dengan prinsip-prinsip common law, hukum Islam, dan hukum adat sejalan dengan pandangan Soetandyo Wignjosoebroto. yang menyatakan bahwa adopsi unsur-unsur hukum asing dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris tentu saja mungkin, akan tetapi konfigurasi atau pola sistemiknya yang Eropa itu tidaklah mungkin dibongkar sama sekali. Hal ini dapat dimengerti karena sistem Eropa Kontinental (civil law), telah tersosialisasi secara berterusan dan telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Jimly Asshiddiqie, juga mengakui tentang sistem hukum campuran yang dianut dan dikembangkan Indonesia yang menurutnya secara historis, sistem hukum nasional Indonesia seperti dikenal saat ini memang sudah sejak lama bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, ditambah dengan praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia Internasional . Kondisi sistem hukum campuran yang dianut dan dipratekkan di Indonesia tidak terlepas dari pengakuan dan penghormatan UUD 1945 terhadap pluralisme hukum yang telah lama hidup dalam masyarakat . Kata plural dalam konteks ini adalah suatu ungkapan yang menunjukan kepada sesuatu yang banyak, atau adanya keanekaragmaan dan perbedaan. Keanekaragaman disebut adakalanya mengacu pada adanya perbedaan latar belakang masyarakat dari segi suku bangsa, budaya, maupun agama yang dianut dalam suatu bangsa dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bersama, di Indonesia terdapat bermacam-macam suku, ras, agama, kebudayaan, hukum dan lain-lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa Indonesia.
Secara esensial bahwa factor-faktor Negara Indonesia tidak dapat mandiri dalam menciptakan dan menganut hukum murni di Indonesia, hal-hal tersebut dikarenakan bahwa dalam perjalanan sejarah yang cukup panjang adanya penjajahan dalam Negara Indonesia yang dari zaman penjajahan kolonial khususnya tidak sudah diberlakukan hukum kolonial yang mana dari hukum kolonial tersebut juga, sudah mempengaruhi hukum adat yang ada di Negara Indonesia sehingga penerapannya masih diberlakukan sampai sekarang, juga berdampak pada masalah agraria, baik masalah kepemilikan tanah dan sebagainya. Sehingga diperlukan penyesuaian kembali untuk dapat menciptakan suatu tatanan hukum yang memahami masyarakat non barat pada khususnya. Singkat kata sekiranya Negara Indonesia dan para penegak hukumnya dapat memberikan dan membentuk hukum secara sosiologis hal ini penting, dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan dari kaidah-kaidah dan pola-pola prilakuan. Yang bertujuan berkisar pada pokok-pokok nilai manusia dan masyarakat secara luas.

















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sikap negatif (dampak) terhadap hukum corak barat ini sering kali dijelaskan sebagai manifestasi dari kesadaran hukum atau kesadaran hak-hak yang hampir belum berkembang. akan tetapi, penjelasan-penjelasan seperti itu adalah sangat problematis, mengingat fakta-fakta bahwa rakyat mempunyai pengalaman-pengalaman sadar akan tidak adanya keadilan dan kemarahan moral. Sehingga secara esensial dengan adanya pemberlakuan hukum barat terhadap masyarakat non barat seperti di Negara Indonesia, mempunyai dampak negatirf yang cukup signifikan terhadap tingkat pemahaman masyarakat khususnya dibidang agrarian.
2. Adanya pejalanan sejarah yang panjang dari penjajahan yang dilakukan oleh penjajah kolonial khusunya, penerapan hukum juga dari masa lalu yang diterapkan sudah menjadi darah daging dalam dunia hukum di Indonesia sehingga mempengaruhi hampir semua aspek, bukan hanya pada aspek agraria semata melainkan aspek-aspek lain juga ikut terpengaruhi terhadap budaya hukum barat yang sejak dulu sudah diterapkan.
B. Saran
1. Meskipun Negara Indonesia masih menganut hukum barat yang diberlakukan juga kepada masyarakat non barat, berkenaan dengan permasalahan agrarian yang dialami oleh masyarakat adat khusunya di Negara Indonesia diberikan keistemewaan “dalam artian” tidak diberlakukan budaya hukum barat tersebut secara mutlak, sehingga tidak menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat adat pada umumnya.
2. Para penegak hukum di Negara Indonesia kiranya dapat berfikir dan berkreasi untuk merubah dan membentuk hukum yang sesuai dengan masyarakat Indonesia pada khusunya, sehingga hukum yang berlaku di Negara Indonesia dapat diterapkan sesuai keinginan masyarakat dan kemampuan masyarakat dalam berhukum.


















Daftar Pustaka
Admin,“periodisasi Perkembangan Hukum Agraria”, http://pena.aminuddinsalle.com/ 2010.
Steni,Bernadinus, “Transplantasi Hukum, Posisi Hukum Lokal Dan Persoalan Agraria” http://my.opera.com/bernads/blog/transplantasi-hukum-posisi-hukum-lokal-dan-persoalan-agraria. ,2008.

Peters Koesriani Siswosoebroto.A.AG, “Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum”,PT.Sinar Agape Press. Jakarta. 1988.

Sinurat MeKar, “Sistem hukum di Indonesia”,http://mekar-sinurat.blogspot.com/2010/02/sistem-hukum-indonesia.html ,2010.
Simarmata, Rikardo, “Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia”, UNDP, Jakarta, 2006.

Soekanto Soerjono, “Pokok-Pokok Sosiologi Hukum”PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Undang-Undang Nomor 5 1960 Tentang Pokok Agraria.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun1945.

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG -UNDANG

disalin oleh: Arming, S.H (Sebagai Bahan Bacaan)
a. PROGRAM LEGISLASI NASIONAL
Agar dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilaksanakan, secara berencana, maka Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional. Dalam Program Legislasi Nasional tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Program Legislasi Nasional memuat program legislasi jangka panjang, menengah, atau tahunan. Program Legislasi Nasional hanya memuat program penyusunan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat. Dalam penyusunan program tersebut perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, penyusunan Program Legislasi Nasional disusun secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Prolegnas ditetapkan dalam rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional. Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional.
b. RANCANGAN UNDANG-UNDANG DARI PEMERINTAH
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-undangan. Menteri meminta kepada Menteri lain dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen perencanaan pembentukan Rancangan Undang-Undang di lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Menteri melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang diterima dengan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen penyusun perencanaan pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Pimpinan instansi Pemerintah terkait lainnya.
Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang, diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan falsafah negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang­Undang tersebut.Jika konsepsi Rancangan Undang-Undang tersebut disertai dengan naskah Akademik, maka Naskah Akademik dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Jika menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen telah menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang­Undang, maka Naskah Akademik tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Undang-Undang. Konsepsi Rancangan Undang-Undang yang telah memperoleh keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi, oleh Menteri wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebagai Prolegnas yang disusun di lingkungan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah oleh Menteri dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Legislasi dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
c. RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DPR
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan di Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-undangan yaitu Badan Legislasi. Dalam proses tersebut, Badan Legislasi dapat meminta atau memperoleh bahan dan/atau masukan dari Dewan Perwakilan Daerah dan/atau masyarakat. Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
Hasil Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dibahas bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Legislasi. Menteri mengkonsultasikan terlebih dahulu masing-masing konsepsi Rancangan Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya dengan masalah yang akan diatur dalam Rancangan Undang­-Undang dan Pimpinan instansi Pemerintah terkait lainnya. Konsultasi tersebut dilaksanakan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang termasuk kesiapan dalam pembentukannya. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan konsultasi dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang tersebut, kemudian oleh Menteri dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebelum dikoordinasikan kembali dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Persetujuan Presiden terhadap Prolegnas yang disusun di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat diberitahukan secara tertulis kepada dan sekaligus menugaskan Menteri untuk mengkoordinasikan kembali dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Prolegnas yang disusun di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang telah memperoleh kesepakatan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, dilaporkan pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan penetapan.
Apabila dalam satu masa sidang, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden menyampaikan rancangan undang-undang mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan undang-undang yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan rancangan undang-undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
d. RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL DPD
Pasal 22 UUD dan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 17 ayat (1) UU Susduk juga menyatakan bahwa Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional. Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, berdasarkan Pasal 17 ayat (3) UU Susduk, dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional hal ini tidak berlaku bagi DPD.
Pengaturan terhadap Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana didalamnya pasal tersebut dinyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Yang kemudian dalam Pasal 19 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 juga menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah, diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 102 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan Tata Tertib baik Tata Tertib DPR RI maupun Tata Tertib DPD RI yang mempunyai keterkaitan dengan pihak lain harus mendapat persetujuan dari pihak lain/lembaga yang terkait yang berarti perlu adanya kesepakatan berkaitan dengan aturan pembahasan usul DPD tersebut. Mekanisme pembahasan tersebut harus ditetapkan secara baku dan menjadi pedoman setiap pembahasan antara DPD dengan DPR. Sehubungan dengan hal tersebut, saat ini sedang dalam proses pembahasan di dimana Panitia Perancang Undang-Undang DPD mengusulkan:
1. perlu disepakatinya tenggat waktu bagi DPR untuk memulai membahas usul RUU DPD, apakah sejak surat Pimpinan DPD diterima oleh Pimpinan DPR atau sejak Pimpinan DPD mengirimkan surat tersebut.
2. Sifat rapat pada waktu pembahasan, selama ini pembahasan DPR dengan pemerintah dalam rangka pembahasan sebuah RUU dilakukan dalam kerangka rapat kerja. Oleh karena itu, diusulkan sifat rapat antara DPR dan DPD adalah rapat kerja dengan tahapan dalam pembahasan tersebut yang dapat dikoordinasikan lebih lanjut, sebagai berikut :
a. Tahap penyampaian pokok-pokok pikiran materi RUU oleh DPD;
b. Tanggapan fraksi-fraksi DPR (dengan memberikan tenggat waktu bagi fraksi-fraksi untuk menyusun tanggapannya).
c. Jawaban DPD (tanggapan balik) atas tanggapan fraksi-fraksi DPR (dengan memberikan tenggat waktu bagi DPD untuk menyusun tanggapannya).
d. Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM);
e. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
3. Dalam hal pengajuan usul RUU dari DPD sesuai dengan penjelasan Pasal 42 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD maka pada saat pembahasan RUU antara DPR dengan pemerintah, DPD diundang untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya mengenai RUU yang diusulkannya pada pembahasan tahap awal pembicaraan tingkat I maka perlu kejelasan mekanisme pembahasan tersebut dalam masing-masing Tata Tertib.
e. PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan presiden diatur dengan Peraturan Presiden. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
f. PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan dimulainya pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut. Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan rancangan undang-undang yang dibahas. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/Badan Legislasi.
Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Rancangan Undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan undang-undang tersebut kemudian disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
Dalam hal sahnya rancangan undang-undang tersebut maka kalimat pengesahannya berbunyi: UndangUndang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945. Kalimat pengesahan tersebut harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya untuk melaksanakan Undang-Undang ditetapkan Peraturan Pemerintah. Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan tersebut.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia.
g. PARTISIPASI MASYARAKAT
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang-Undang.
i. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembentukan Undang-Undang di DPR dengan menghubungi:
1. Anggota DPR dari Komisi atau Pansus atau Panja yang membahas
2. Badan Legislasi DPR
3. Asisten I Sekretariat Jenderal DPR bidang perundang-undangan
4. Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi
5. Fraksi-fraksi
Bentuk partisipasi yang melibatkan masyarakat di DPR adalah:
1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang forum resmi yang ada dalam proses pembahasan sebuah RUU. Forum ini diadakan pada saat pembahasan tingkat I RUU, yaitu setelah adanya pemandangan umum fraksi atas RUU atau pemandangan umum pemerintah atas RUU dari DPR.
2. Audiensi atau hearing dengan fraksi-fraksi. Forum ini lebih fleksibel, artinya tidak dijadwalkan waktunya sehingga kita dapat melakukan kapan saja sepanjang proses pembahasan RUU itu berlangsung. Kesulitannya adalah mengenai penjadwalan audiensi ini dengan fraksi yang sepenuhnya tergantung pada kesediaan fraksi. Hal ini bisa disiasati dengan menyampaikan surat permohonan dengan maksud, tujuan, serta identifikasi institusi/individu yang jelas, dan ditindaklanjuti melalui hubungan telepon secara intensif.
3. Konsultasi Publik (Sosialisasi) adalah mekanisme yang kadang-kadang dilakukan DPR untuk RUU banyak mendapatkan sorotan. Konsultasi publik ini bisaanya dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia .
4. Hearing dengan Badan Legislasi. Hal yang bisa dilakukan dengan Badan Legislasi DPR antara lain:
a. Memasukkan naskah usulan anda untuk dijadikan RUU usul inisiatif DPR
b. Memberikan masukan atas suatu naskah RUU yang sedang dibahas
Di samping forum-forum di atas, setiap saat anda juga dapat memberikan masukan anda kepada Sekretariat Jenderal DPR RI terutama Asisten I Bidang Perundang-undangan.
ii. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPD
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembentukan Undang-Undang di DPD dengan menghubungi:
a. Anggota DPD
b. PAH/Tim Kerja yang mengusulkan, membahas atau mempertimbangkan Usul RUU yang menjadi wewenang DPD.
c. Panitia Perancang Undang-Undang
d. Sekretariat Jenderal DPD
e. Sekretariat Daerah
f. Sekretariat DPRD
Bentuk partisipasi yang melibatkan masyarakat di DPR adalah:
1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Ad-Hoc (PAH) atau Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Forum ini dilaksanakan oleh PAH dan PPUU kapan saja di dalam atau di luar waktu pembahasan Usul RUU dan Usul Pembentukan RUU. RDPU bisa dilaksanakan atas permintaan dari PAH, PPUU atau atas permintaan pihak lain. Masyarakat dapat memasukkan draft Usulan RUU kepada PPUU untuk dijadikan Usul RUU anggota DPD, dan anda juga dapat memberikan masukan terhadap pembahasan Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.
2. Hearing dengan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Forum ini dapat dilakukan kapan saja selama di dalam atau di luar waktu pembahasan suatu Usulan RUU. Waktunya bisa pada saat masa sidang atau pada saat PPUU mengunjungi daerah dalam kunjungan kerja dalam suatu masa sidang.
3. Hearing dengan Anggota DPD yang merupakan anggota PAH yang mengusulkan, membahas Usul Pembentukan RUU atau Usul RUU . Forum ini juga bisa dilaksanakan kapan saja, di dalam atau di luar masa pembahasan suatu Usulan RUU atau pada saat kunjungan kerja anggota DPD ke daerah atau pada saat Anggota DPD melakukan kegiatan kerja di daerah masing-masing. Forum ini bertujuan untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah, di mana hasil dari kunjungan kerja dan kegiatan anggota DPD di daerah akan dilaporkan kepada semua alat kelengkapan DPD. Masyarakat dapat memasukkan draft Usulan RUU kepada Anggota DPD untuk dijadikan Usul RUU anggota DPD, serta dapat memberikan masukan terhadap pembahasan Usul Pembentukan RUU dan Usul RUU.
Setiap waktu masyarakat bisa mengirimkan saran, kritik dan masukan berupa usulan RUU kepada anggota DPD melalui Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD di daerah masing-masing. Semua masukan dan kritikan akan disampaikan kepada anggota DPD pada saat kunjungan kerja.
h. PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG PRIORITAS TAHUN 2006
1. RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime)
2. RUU tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Memberantas, dan Menghukum Perdagangan, terutama Perempuan dan Anak, Suplemen Konvensi PBB Melawan TOC (Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children)
3. RUU tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003 (United Nations Convention Against Corruption, 2003)
4. RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris (International Convention for The Suppression of Terrorist Bombing)
5. RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme (International Convention for The Suppression of The Financing of Terrorism)
6. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
7. RUU tentang Keimigrasian
8. RUU tentang Perseroan Terbatas
9. RUU tentang Badan Hukum Pendidikan
10. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
11. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
12. RUU tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
13. RUU tentang Rahasia Negara
14. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
15. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian
16. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
17. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
18. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
19. RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
20. RUU tentang Narkotika
21. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
22. RUU tentang Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (Secondary Mortgage Facilities/SMF)
23. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
24. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
25. RUU tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
26. RUU tentang Lembaga Kepresidenan
27. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
28. RUU tentang Usaha Perasuransian
29. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
30. RUU tentang Pasar Modal
31. RUU tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
32. RUU tentang Lambang Palang Merah RI
33. RUU tentang Standar Pelayanan Publik
34. RUU tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional
35. RUU tentang Intelijen Negara
36. RUU tentang Sekuritisasi
37. RUU tentang Ketenagalistrikan
38. RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam
39. RUU tentang Tindak Pidana Pencurian Kayu (Illegal Logging)
40. RUU tentang Penanaman Modal
41. RUU tentang Mata Uang
42. RUU tentang Perindustrian
43. RUU tentang Perdagangan
Proses Pembentukan Undang-Undang dibuat berdasarkan:
• Undang-Undang Dasar 1945
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
• Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyusunan Dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional
• Keputusan MPR RI Nomor 7/MPR/2004 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Dengan Keputusan MPR RI Nomor 13/MPR/2004 Tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
• Keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/2005-2006 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
• Keputusan DPD RI Nomor 2/DPD/2004 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Keputusan DPD RI Nomor 29/DPD/2005 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
• Usulan Panitia Perancang Undang-Undang Sebagai Bahan Pembahasan Tim Kerja DPD RI Dan DPR RI
• Website Parlemen.net ( http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=kiat )

Analisis Yuridis Normatif Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Undang-undang Darutat No. 8 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi Seorang Warga Malaysia Menjadi Tersangka Pembalakan Liar ( illegal logging ) di Kawasan NUNUKAN ( KAL-TIM).

Oleh:Arming,S.H

duduk kasus

Kasus-kasus yang sering merugikan Negara Indonesia cukup besar di 2 tahun terakhir ini salah satunya adalah kasus pembalakan liar (illegal loging). Dimana kasus ini merugikan negara dengan cara megerogoti hutan yang cukup luas di Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI) serta mengambil keuntungan dari hutan tersebut, baik untuk keuntungan pribadi maupun kelompok (korporasi).
Kita juga mengetahui bersama bahwa dari 5 pulau besar yang berada di Indonesia, Kalimantan adalah salah satu pulau yang mempunyai hutan yang cukup luas dan menjadi kebanggaan Negara Indonesia dengan sumber daya alam yang dimiliki.

Kronologis Kasus Illegal Logging di Kaltim Yang Dilakukan Warga Malaysia

Kasus illegal loging yang baru terjadi 2 tahun terakhir ini, salah satunya terjadi di Kalimantan Timur “khususnya”di (Kabupaten Nunukan). Nunukan adalah suatu daerah yang tepatnya berbatasan dengan Malaysia. Melihat Kab.Nunukan yang mempunyai letak geografis berdekatan dengan pulau Malaysia memberikan suatu daya tarik tersendiri terhadap para memilik modal “khususnya” warga malaysia untuk merai suatu keuntungan yang cukup besar di Kabupaten Nunukan. salah satunya hasil hutan yang begitu luas yang dimiliki oleh wilaya kabuapaten Nunukan.
Tercatat tidak lama ini salah satu pemilik modal dari warga Malayasia yang menjadi tersangka kasus pembalakan liar (illegal logging) di kawasan Nunukan Kalimantan Timur yakni Datu Andi Yakin Patasampa (64). Patasampa diduga melakukan pembalakan liar (illegal logging) di luar areal PT. Nunukan Jaya Lestari (NJL) dan Pohon Emas Lestari (PEL), dimana Datu Andi Yakin Patasampa yang menjadi direktur utama dari PT tersebut.
Tersangka dinilai bertanggung jawab terhadap penebangan liar (illegal logging) yang berjumlah 9.000 kubik kayu, yang dilakukan disalah satu pulau terdekat dengan Kabupaten Nunukan yakni pulau Semenggaris, yang juga mempunyai strategis tepat diperbatasan Malaysia dan Indonesia. Datu Andi Yakin Patasampa yang menjadi tersangka selain terlibat dalam kasus illegal logging juga terlibat dalam kasus pemalsuan jati diri, terutama memalsukan Kartu Tanda Penduduk Kabupaten Nunukan serta Paspor Kewarga Negaraan Indonesia. Selain itu, diduga adanya kelompok tertentu yang terorganisasi yang menampung kayu-kayu illegal tersebut dengan jenis kayu (kartel), selain Datu Andi Yakin Patasampa selaku tersangka kasus illegal logging yang terjadi di simenggaris aparat keamanan juga memeriksa salah satu tersangka lain yaitu Firman, Kabag Tata Usaha PT Nunukan Jaya Lestari (NJL). Dalam kasus yang terjadi di Kaltim Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Kaltim yakni Komisaris Besar I Wayan Tjatra, mengakui adanya keterlibatan warga Malaysia terhadap kasus illegal loging yang terjadi di Semenggaris Nunukan, Kaltim.

Modus yang Digunakan Tersangka untuk Memasuki Wilayah Indonesia

Modus yang dilakukan oleh Datu Andi Yakin Patasampa (tersangka), dengan melakukuan kegiatan penebangan liar (illegal logging) sekitat 9.000 kubik kayu di kawasan simenggaris Nunukan, (kaltim). Yakni dengan cara:
1. “Memalsukan Jati Diri” dengan tujuan agar dapat berdomisili di wilaya Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI).
2. “Memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kabupaten Nunukan”dengan tujuan agar tersangka dapat di yakini sebagai warga setempat Kabupaten Nunukan.
3. “Memalsukan Paspor Indonesia” dengan tujuan tidak dicurigai sebagai warga asing.
Dengan langkah-langkah diataslah tersangka dapat masuk diwilayah Indonesia sampai dengan melakukan kegiatan illegal loging tersebut.


Analisis Kasus (illegal logging) Secara Yuridis

Secara defakto kita mengetahui Indonesia adalah negara deyuro atau yang biasa dikenal dilalam istilah hukum yakni Rechtstaat (negara hukum) dimana segala sesuatu harus mengutamakan tentang kepastian hukum. Sehingga setiap seorang (warga negara) yang melakukan suatu pelanggaran berupa kejahatan maupun pelanggaran lainnya, apabila dilakukan “secara hukum” terbukti bersalah atas perbuatan yang telah dilakuakukan. Tetapi melihat perkembagan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini negara kita cendrung dengan negara yang menggunakan paradigma legal positivisme dimana dikemukakan oleh salah seorang ahli hukum yakni Hans Kelsen. Yang mana sebernannya pemikiran hukum (legal thought) negara kita tidak diadakan untuk memberikan keadilan dalam masyarakat sebagai mana yang terjadi seperti penegakan hukum adat pada dasarnya, akan tetapi hanya sekedar melindungi kemerdekaan setiap perorangan ( kemerdekaan individu).
Merelevansikan dari teori diatas dengan kasus yang terjadi “khususnya” kasus illegal logging yang dilakukan oleh warga malaysia yakni Datu Andi Yakin Patasampa selaku pemilik perusahaan PT.Nunukan Jaya Lestari (NJL). Diduga sebagai tersangka yang melakukan kejahatan diantaranya pemalsuan identitas, pelanggaran keimigrasian sampai dengan kegiatan penebangan liar (illegal logging) yang tecatat sekitar 9.000 kubik kayu, dan merusak hutan serta menduduki hutan diluar real PT.Nunukan Jaya Lestari (NJL) tanpa surat izin yang syah . Dimana areal tersebut tepatnya berada disekitar pulau semenggaris yang berbatasan dengan pulau Malayasia. Untuk menjalankan penegakan hukum (Law Enforcement) sudah jelas kita mengetahui bersama bahwa orang yang melakukan kesalahan maupun pelanggaran di negara hukum (Rechtstaat ) harus di peroses secara hukum juga sebagai, mana yang sudah di tetapkan di negara tersebut. Tersangka dalam lah ini Dapat di jerat dengan (Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan) “khususnya” pasal 50 ayat (3) yang berbunyi “setiap orang dilarang “:(a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak syah dan juga dapat dijerat dengan pasal 78 ayat (2) yang berbunyi barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaiman yang dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf (a), huruf (b), atau huruf (c), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliyar rupiah). Pasal ini dikenakkan kerena tersangka tidak memiliki surat syah dalam mengelola hutan diluar areal PT. (NJL). Selain itu juga tersangka dapat dijerat dengan pasal 78 (1) yang berbunyi barang siapa dengan senganja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 (1) atau pasal 50 (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliyar rupiah).
Tersangka selain dijetat dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang dikarenakan Kasus illegal logging . tersangka juga dapat dikenakan hukuman berupa denda atau kurungan karena sudah memalsukan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kabupaten Nunukan. Selain kasus illegal logging dan kasus pemalsuan identitas tersangka juga dapat di jerat dengan (Undang-undang Darutat No. 8 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi) “khususnya”pasal 1 yang berbunyi : dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya 2 tahun atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dan pasal 1 huruf (a) barang siapa mempunyai sesuatu paspor atau dokomen imigrasi atau blankonya masing-masing dengan mengetahui atau sepatutnya harus menyangka, bahwa paspor, dokumen atau blanko itu diperoleh secaran tidak syah atau bahwa paspor,dokumen atau blanko itu palsu atau dipalsukan.
Selain itu, Firman yang di duga sebagai kelompok tertentu dalam kasus illegal logging ini secara terorganisasi yang mempunyai tugas sebagai penampung kayu-kayu hasil pembalakan liar di pulau simenggaris Kaltim. Juga dapat dikenakan hukum, baik berupa denda maupun kurungan dikarenakan pengikutsertaan dalam kegiatan yang melawan hukum.

JUDI TOGEL SEMAKIN MERAJA LELAH

Oleh: Arming, S.H

Fenomena perjudian adalah permasalahan yang kompleks, untuk itu maka ada baiknya bila kita mencoba menarik beberapa intisari permasalahan berkaitan dengan fenomena tersebut agar pembahasan dapat lebih terarah dan tepat. Definisi yang diberikan dalam sebuah kamus besar “khususnya” kamus Bahasa Indonesia yang mana kata “judi” adalah:
“Permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan; berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau harta di permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula; menjudikan ialah memakai sesuatu untuk bertaruh; penjudian yaitu proses, cara, perbuatan menjudikan. ”Dierah global seperti sekarang ini sulitnya pemberantasan perjudian “khususnya” judi kupon putih ini atau lebih dikenal sebutan toto gelap (Togel) kian membuat sebagian masyarakat menjadi resah. Selain itu juga diduga adanya oknum-oknum aparat yang membeking bandar-bandar togel ini menyebabkan peredaran kupon putih ini kian marak terjadi di kalangan masyarakat luas. Sebagai suatu contoh seorang pak tua yang mempunyai profesi sebagai tukang becak terpaksa harus berurusan dengan oknum aparat keamanan setempat karena ketahuan mengedarkan kupon putih tersebut di kawasan pasar sentral Makassar Sulawesi Sulawesi-selatan. Mengedarkan kupon judi toto gelap (togel) oleh anggota Kepolisian Sektor Kota Makassar Sulawesi-selatan. Bapak tua yang mempunyai profesi sehari-harinya sebagai tukang becak itu mengaku, baru beberapa pekan terakhir ini berjualan togel disekitar pasar sentral Makassar. Dari hasil penjualan togel dia gunakan untuk memenuhi dari kekurangan pendapatannya sebagai tukang becak untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya untuk bersekolah.
Judi togel itu sendiri sebenarnya adalah jenis judi yang banyak digemari oleh masyarakat luas. Yang mana jenis judi togel itu sendiri berasal dari negara Singapura. Dalam hal ini jika melihat dari kinerja dari pihak pemerintah dan oknum aparat keamanan seperti kehabisan akal untuk mengatasi judi gelap yang diharamkan oleh setiap agama. Pasalnya, jenis judi yang memiliki perputaran uang milyaran rupiah dalam satu hari saja tersebut mudah diperoleh hingga ke sudut-sudut perkampungan sekalipun. Togel ini bahkan lebih dahsyat ketimbang judi lainnya yang berada di Indonesia.
Judi yang memainkan angka-angka dengan sejuta impian dan harapann yang cukup besar untuk memperoleh keuntungan ini kini tengah marak di Negara Indonesia, yang tercatat sudah meracuni masyarakat masyarakat luas baik dari kalangan bawah hingga menengah. Tidak asing lagi, bahkan ibu rumah tangga, Pegawai Negeri Sipil (PNS) bahkan pedangan-pedangan kaki lima sudah menjadikan togel sebagai sampingan dan hiburan sehari-hari .
Jenis judi togel menggunakan modus, yang tergolong sangat sederhana dan rahasia. Pembeli hanya mendapatkan selembar kertas yang isi dari kertas tersebut bertuliskan angka-angka yang dipesan (di tafsir) oleh pembeli. Kemudian kertas yang telah dituliskan angka di kembalikan oleh pemiliknya sebagai tanda bukti untuk untuk mengambil uang apabila beruntung nantinya.
Selain itu modus lain yang digunakan oleh judi togel ini yakni dengan cara, menggunakan tekhnologi modern melainkan peredaran togel dilakukan melalui internet dan telepon. Tetapi bagi orang yang sudah saling kenal satu sama lain, membeli togel cukup dengan kirim sebuah SMS atau telepon ke cabang-cabang togel yang banyak beredar di tempat-tempat bias mangkal. Sementara untuk mengetahui angka jitu dan nomor keluar juga melibatkan tekhnologi modern yakni dengan cara diakses di internet.
Sempat di tanyakan. Menurut sebagian pengecer togel (penjual togel), penghasilan yang diterima dari persenan penjualan togel cukup lumayan untuk pendapatan sehari-hari. Dalam satu kali pemutaran dapat menghasilkan seratus hingga dua ratus ribu rupiah. Sedangkan omset penjualan kupon setiap pemutaran disetiap agen dapat mencapai satu juta bahkan lebih.
Padahal sudah sejelas dan nyata Secara yuridis (secara hokum), berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Khususnya pasal 303 KUHP jo UU Nomor 7 tahun 1974, semua bentuk perjudian adalah kejahatan. Selain itu PP No 9/1981 jo Inmedagri No 5/1981 yang ditujukan pada seluruh gubernur, bupati, dan wali kota, agar menghapus/mencabut izin perjudian dalam bentuk dan tujuan apapun sejak 1 April 1981. Semua aturan itu dianggap sebagai perangkat hukum yang jelas untuk melarang perjudian di Negara Kesatuan Repoblik Indonesia(NKRI).
Menurut ahli hukum Haryono Mintarum menyatakan, undang-undang tentang perjudian itu dengan jelas menyebutkan kriteria perjudian serta berapa hukuman maksimalnya."Hukumannya sangat berat apabila mau serius, menurut KUHP pasal 303 ancaman hukuman 10 tahun plus denda Rp 25 juta.Tetapi pada Realitasnya yang terjadi pada oknum aparat keamanan khususnya sampai sekarang masih cukup sulit untuk menciptakan penegaka hukum (Law Enforcement) yang sesungguhnya. Kenyataan tersebubut dapat kita lihat secara langsung dari media-media masa yang tercatat masih banyaknya TO (Target Oprasi) yang masih dalam proses pencarian.
Ada dua varian model penanganan perjudian. Di antaranya lokalisasi, seperti yang dilakukan Malaysia, atau dilegalkan seperti dianut Thailand. Namun di Indonesia kedua model tersebut sulit dipraktikkan. Lokalisasi perjudian, misalnya, memang mempunyai efek edukatif. Mereka yang masuk ke tempat tersebut hanya mereka yang benar-benar punya niat dan selain itu juga haus mempunyai sejumlah uang yang tergolong banyak. Namun, model tersebut tidak efektif jika diterapkan karena sebagian besar pecandu togel tergolong masyarakat lapisan bawah (setrata).
Tetapi dalam paparan di atas solusi yang paling penting yang harus dilakukan oleh semua jajaran baik dari pihak Pemerintah, pihak Oknum Aparat Keamanan serta seluru masyarakat, dalam hal ini harus lebih bertindak pro aktif untuk bersama-sama membantu untuk menghapuskan perjudian di Negara Indonesia dan menciptakan hukum yang sesungguhnya dimasa-masa mendatang.

ORGANISASI ADMINISTRASI NEGARA

Oleh: Ryan Hidayat, S.H
ORGANISASI ADMINISTRASI NEGARA

A. Pengertian Organisasi
Organisasi secara umum dapat diarikan sebagai sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Organisasi dapat dirumuskan sebagai suatu kerjasama berdasarkan pembagian kerja yang tetap dan juga organisasi sebagai badan dimana memudahkan anggotanya dalam hal ini rakyat untuk mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Tujuan bersama dalam ini termaktub dalam konstitusi kita yaitu UUD RI 1945. Dimana didalamnya mengatur bagaiman negara dalam hal ini organisasi yang dikelola oleh aparaturnya dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya.
Didalam Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, artinya apa negara memberikan kebebasan kepada warna negaranya berkumpul dan berserikat dalam sebuah organisasi seperti dalam dal ini partai politik dimana didalamnya mempunyai misi dan visi yang berbeda antara parpol yang satu dan lainnya yang mana sebagai wadah rakyat untuk menyatakan pikirannya dan pendapatnya yang kemudian diatur dalam undang-undang. Maka dari itu harus bisa dibedakan antara organisasi dan organisasi administrasi negara yang mana keduanya memiliki perbedaan yang sangat signigfikan.

B. Organisasi Negara
Organisasi negara dapat diartikan sebagai lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang berada di pusat yang mana secara langsung diatur dalam Perundang-undangan baik UUD RI 1945, UU, dan Keppres.


Inventarisasi Organisasi Negara
Organisasi Negara yang di atur dalam UUD RI 1945 yaitu sebagai berikut :
a) Dewan perwakilan rakyat (DPR) yang mana memegang kekeuasaan membentuk UU yang dipilih melalui pemilu yang diajukan oleh partai poltik sebagai bagian dari organisasi di luar organisasi administrasi negara. Sebagai badan atau lembaga atau organisasi negara yang sebagai wadah aspirasi dari masyaraka indonesi memegang peranan penting dalam suatu negara dan memiliki fungsi, wewenang dan hak yang besar yang mana di atu dalam UUD RI 1945 sebagai berikut :
1) Memiliki fungsi legislasi (membentuk UU), fungsi anggaran, fungsi pengawasan (monitoring terhadap lembaga atau organisasi negara lainnya) [Pasal 20A (1) amandemen ke-2];
2) Mempunyai hak interplasi (hak bertanya kepada pemerintah dalam hal ini eksekutif), hak angket, dan hak untuk menyatakan pendapat [Pasal 20A (2) mandemen ke-2]
3) Mempunyai wewenang yang diatur dalam UUD RI 1945.
b) Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah yang mana dipilih secara langsung oleh rakyat [Pasal 6A (1) amandemen ke-3] melalui pemilu yang diusung oleh partai politik yang memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilh kembali dalam jabatan yang sama dalam satu kali masa jabatan [Pasal 7 amandemen ke-1]. Yang mana memiliki wewenang, kewajiban dan hak yang diatur dalam UUD RI 1945.
c) Mahkamah Agung (MA) yang mana memegang kekuasaan kehakiman yang mana dibawahnya terdiri dari 4 lingkungan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hakim di dalam Mahkamah Agung disebut dengan Hakim Agung yang harus memiliki interritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum [Pasal 24A (2) amandemen ke-3] dan calon hakim agung diusulkan oleh KY (komisi Yudisial) disetujui oleh DPR dan dilantik oleh Presiden [Pasal 24A (3) amandemen ke-3]. Dimana kewajiban dan wewenangnya juga diatur dalam UUD RI 1945 dan secara keseluruhan diatur secara khusus didalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
d) Mahkamah Konstitusi (MK) yang mana hakim kostitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang memnguasasi kostitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara [Pasal 24C (5) amandemen ke-3]. MK mempunyai 9 hakim kostitusi yang mana 3 orang diajukan oleh MA, 3 orang diajukan oleh Presiden dan 3 orang diajukan Oeh DPR yang mana akan ditetapkan oleh Presiden [Pasal 24C (3) amandemen ke-3]. Wewenang dan kewajiban MK diatur juga dalam UUD RI 1945 yang man secara keseluruhan diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
e) Komisi Yudisial [pasal 24B amandemen ke-3] memiliki wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim [Pasal 24B (1) amandemen ke-3]. Dan secara keseluruhan diatur khusus dalam UU No. 22 Tahu 2004 tentang Komisi Yudisial.
f) Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 2 (1) Amandemen ke-4] yang man aggotanya terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung melalui pemilu. Memiliki kewenangan mengubah UUD RI 1945, melantik Presiden dan/atau wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatanya menurut UUD RI 1945, memilih wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden dalam hal terjadi kekosongan wakil Presiden dan memilih Presiden dan wakil Presiden dari dua p0asangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan wakil Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya samapai berakhir masa jabatannya, jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibanya dalam masa jabatannya secara bersamaan.

g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mana bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh suatu badan BPK yang bebas dan mandiri. BPK berkedudukan di pusan dan memiliki perwakilan disetiap provinsi. Hasil pemeriksaan diserahkan kepadav DPR, DPD dan DPRD sesuai kewenagannya dan akan ditindaklanjuti oleh badan yang berwenang sesuai UU.
h) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) anggota dipilih melalu pemilu yang silakukan setiap provinsi, yang mana anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih 1/3 dari jumlah anggota DPR. Tudas, Fungsi dan kewenangannya diatur dalam UUD RI 1945.
i) KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang mana anggotanya terdiri dari 7 anggota yang memiliki fungsi dan tugas yang berbeda yang berada di pusat serta berada di daerah yang disebut KPUD. Yang mana bertugas menyelenggarakan pemilihan umum yang dilakukan 5 tahun sekali.
j) Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia atau BI yang mana mempunyai susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab yang ditur dalam UU dan bersifat indenpenden atau mandiri. Yang mana bertugas mengatur dalam hal keuangan negara.

Organisasi Negara yang di atur dalam UU antara lain sebagai berikut :
a) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang mana diatur dalam UU No. 30 tahun 2002 yang mana berfungsi sebgai badan yang independen yang mana memiliki kewenangan dalam melakukan penindakan terhadap setiap orang atau pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi.
b) KPAI (Komisi Pelindungan anak Indonesia) yang mana memiliki fungsi sebagai badan yang manangani masalah-masalah yang berkaitan dengan perlindungan anak

Organisasi Negara yang di atur dalam Keppres antara lain sebagai berikut :
a) Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang mana berfungsi sebagai badan yang meneriman keluhan dan pengaduan masyarakat. Dibentuk pada masa-masa Presiden Abdurrahman Wahid.

C. Organisasi Administrasi Negara
Organisasi administrasi negara adalah institusi atau lembaga negara yang secara struktural berada berada di bawah eksekutif dalam hal ini presiden sebagai kepala pemerintahan (Top Leader Organisasi Administrasi Negara) dimana jumlahnya tidak terbatas hal ini dilakukan karena bertujuan untuk :
1) Membagi tugas-tugas pemerintah,
2) Membatasi tugas, kewenangan dan tanggung jawab,
3) Memberikan pelayaan secara spesialisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat mudah untuk mendapatkan pelayanan,
4) Memudahkan pengawasan oleh atasan dan masyarakat, karena pembagian tugasnya telah dilakukan secara tegas dalam undang-undang, dan
5) Memudahkan komunikasi dan koordinasi antar organisasi administrasi negara.

Ciri-ciri organisasi administarsi negara sebagai berikut :
1) Tidak diatur secara konkrit dalam suatu UU,
2) Jumlahnya tak terbatas, tergantung dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat,
3) Semua lembaganya menyebar,
4) diangkat karena berstatus sebagai PNS,
5) Pertanggungjawaban kepada atasan,
6) Keberadaan dan fungsi pokoknya merupakan public service, dan
7) Nama tergantung dari fungsi dan tugas dari lembaga tersebut.

Organisasi anministrasi negara memiliki 2 sifat yaitu :
1) Bersifat struktural yaitu pembagian organisasi administrasi negara berdasarkan tugas dan fungsinya sehingga bersifat statis.
2) Bersifat Fungsional yaitu pelaksanaan atau aktivitas organisasi administrasi negara yang ditinjau dari SDM, Prasananya, dana dan lain-lain yang mana menunjang proses pelaksanaan kinerja organisasi administrasi negara.

Ditinjau dari segi ilmu hukum organisasi administrasi negara hanya meliputi eksekutif sebagai pelaksana UU dala hal ini pemerintah yang mana dilakakukan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam menjalankan semua aktivitas negara baik di Pusat maupun Daerah perlu adanya semacam pembagian kewenangan. Negara sudah mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kewenangan Pusat dan Daerah yang mana semuanya dibawah kendali eksekutif sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Maka dari itu perlu adanya sesuatu yang mengatur baik pemerintahan pusat dan daerah ini berkaitan tugas dan wewenangnya sebagai pelayan masyarakat secara universal. Dalam terciptanya proses dala menjalan pemerintahan yang baik perlu adanya kejasaman yang baik antara pemerintah pusat maupun daerah. Didalam UUD RI 1945 diatur tentang pemerintah daerah dalam pasal 18.
Di dalam pemerintahan daerah dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 (2) amandemen ke-2]. Yang mana keseluruhan diatur secara khusus dalam No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 wewenang dari pemerintah pusat adalah dalam urusan bidang politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama, di luar dari pada itu adalah urusan pemerintah daerah seperti urusan dalam bidang kebudayaan, pendidikan, SDA daerah, ekonomi daerah, kesehatan, kependudukan, pembangunan daerah dan lain-lain yang mana penyelenggaraan urudan pemerintah dibagi berdasrkan criteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan [pasal 11 (1)].
Di dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 angka 7, 8, dan 9 dikenal dengan asas penyelenggaraan pemerintah di daerah : Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang mana dilakukan oleh Aparat administrasi daerah dan dan dari APBN dan APBD; Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang (delegation of power) pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Yang mana pusat memberikan perencanaan kepada aderah dan dilakukan oleh aparat administrasi pusat serta dana dari APBN; Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Yang mana dilakukan oleh aparat daerah yang dimintai tugas dari pemerintah pusat, dana diperoleh dari APBN dan APBD dan pertanggungjawabannya langsung kepada pemerintah pusat.

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene Beginzedvan Behoulijk Bestures/General Prinsiple Of Good Administration)

oleh: Arming,S.H. dkk
Hukum Administrasi Negara (HAN)

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene Beginzedvan Behoulijk Bestures/General Prinsiple Of Good Administration)

Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan jembatan antara norma hukum dan norma etika. Asas-asas tersebut ada yang tertulis dan tidak tertulis. Asas ini sebagai perwujudan pemerintahan yang baik, baik dari sistem dan pelaksanaan pemerintahan. Pada awalnya dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi negara melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga merugikan masyarakat luas. Oleh sebab itu perlu adanya asas-asas untuk membatasi dari wewenang administrasi tersebut sehingga terhindar dari pelampauan wewenang.Dalam Perundangan-undangan formal kita yang tertulis dalam sebuah naskah UU. Di dalam UU sudah ada mengatur tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, UU RI No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Di dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN Pasal 1 (6) yaitu Asas umum pemerintah yang Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam Pasal 3 UU RI No. 28 Tahun 1999 Poin 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 di jelaskan tentang asas umum penyelenggaraan negara yaitu sebagai berikut :
1. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Maksudnya asai ini menhendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keseraslan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Maksudnya asas ini menghendaki pemerintah harus mengutamakan kepentingan umum terlebih dahulu.
4. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut UU RI No. 32 Tahu 2004 tentang pemerintah daerah bagian kedua tentang asas penyelenggaraan pemerintahan Pasal 20 angka 1 dipaparkan tentang Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:
a. Asas kepastian hukum adalah dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peratruan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
b. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
c. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
e. Asas proporsionalitas adalah asas mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
f. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h. Asas efisiensi; dan
i. Asas efektivitas.
Berdasarkan peraturan peundangan-undangan di atas diharapkan tidak adanya pelampauan kewenangan pejabat administrasi negara dalam mengeluarkan segala keputusan-keputusan yang berkaitan kepentian hukum sehingga akan tercapainya pemerintahan yang baik. Apabila terjadinya pelampauan kewenangan oleh pejabat administrasi negara, di dalam UU RI No. 5 Tahun 1986 tenteng PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), itu dimaksudkan bahwa ketika ada sengketa antara pejabat administrasi negara dengan masyarakat maka dalam menyelesaikan sengketa dibuat suatu peradilan hukum yaitu PTUN.
Diluar dari hukum tertulis atau hukum formal ada asas hukum tidak tertulis yang menunjang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik yaitu
1. Asas Persamaan, bahwa hal-hal yang sama harus diperlakukan sama.
2. Asas Kepercayaan, menuntut supaya badan pemerintahan terikat pada janjinya.
3. Asas Kepastian hukum, adanya kepastian hukum pejabat administrasi negara dalam mengeluarkan segalah keputusan.
4. Asas Kecermatan, bahwa segala ketusan yang diambil harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat.
5. Asas Pemberian alasan, bahwa segala keputusan harus dapat didukung oleh alas an-alasan yang dijadikan dasarnya.
6. Larangan Penyalahgunaan Wewenang, bahwa segala wewenang yang diberikan tidak boleh untuk tujuan lain.
7. Larangan Bertindak Sewenang-wenang, bahwa segala keputusan yang diambil tidak boleh bertentangan.
Dari mana dari asas ini dipergunakan dalam keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan yang dapat diterapkan. Dalam perkembangan praktek khusus melalui putusan peradilan, asas-asas umum pemerintah yang abik terdapat 13 asas yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum;
2. Asas keseimbangan;
3. Asas kesamaan;
4. Asas bertindak cermat;
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan;
6. Asas jangan mencampur-adukan kewenangan;
7. Asas permainan yang layak;
8. Asas keadilan atau kewajaran;
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar;
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal;
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup;
12. Asas kebijaksanaan;
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.

Pandangan Mengenai Kriminologi

oleh:Arming, S.H
pengertiannya Kriminologi:
Secara etimologis krominologi berasaal dari kata-kata yunani “CRIME” a4tinya kejahataan dan LOGOS artinaya ilmu, jadio kriminoologi berarti ilmu tentang kejahatan. Nama kriminologi nerasala Dario ahli antropolgo perancis bernama P.Tapnaid. nama krrminologi pada dasarnya atas dua pengertian yaituh sempit dan luas mirip dengan pengertian yan diberiakn prf.noach. yaituh:
1. pengertian luas dari crime (kejahatan) dan logos( ilmu ): ilmu yang memepelajari tentang kejahatan
2. pengertian sempit: ilmu yang mempelajari tentang sebab kejahatan dan penangulangan
kebayakan menganut pengertian sempit, alsanya mengunakan pengertiqan luas, akan terjadi tumpang tindih dengan ilmu lain:, seperti:
1. etilogi criminal: ilmu tentang ssebab-sebab kejahtan
2. antreopologi criminal ilmu tentang manusia yang jahat
3. penologi ilmu tentang korban kejahatan
4. psikologi criminal: ilmu tantang kejahatan dipandan dari sudut ilmu jiwa
5. stastik criminal: ilmu tentang kejahatan di pandang dari data`
dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh berbagai sarjana, diperoleh beberapa kesamaan yaitu bahwa krimonologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan dan penjahat yaitu :
 bentuk penjelmaan
 sebab dan akibat
 penanggulangan
Hubungan kriminologi dengan hukum pidana adalah
kriminologi mempelajari kejahatan dari aspek bentuk, sebab dan penanggulangannya, itupun didapat setelah kejahatan itu terjadi. Dalam udsaha untuk mengungkap dan menerangkan kuasa kejahatan hartus diletakan pada bidan kajian kriminologi, dan bukan terjadi otoritas hokum pidana. Kapasitas hokum pidana yang terbatyas pada udsaha untuk mencari dan membuktikan adanya perbuatan (actus reus) dengan kesengajaan atau lalai (mens rea).
Selanjutnya jika dibandingkan kriminologi dengan hokum pidana diperoleh keterangan sebagai berikut.
Persamaannya : baik kriminologi maupun hokum pidana objeknya sama-sama kejahatan
Perbedaannya : - kriminologi Berisi dengan pengetahuan gejala social (kejahatan) yang ada dalam masyarakat
Lebih bersifat prefentif keilmuan
Mempengaruhi penyusunan Undang-Undang yang didasarkan pada teori dan realita masyarat
- Hukum pidana : berisi tentang norma perbuatan yang dilarang
Hubugan dengan ilmu lain, menurut Sutherland (principle of criminologi) : kriminologi mencakup 3 bagian pokok : (1) sosiologi hokum, gejala masyarakat yang menimbulkan hokum (2) etiologi criminal, sebab-sebab kejahatan (3) penology, penghukuman
Artinya menurut Sutherland, yang didukun pula oleh elliot (crime in modern ociety), bahwa ilmu-ilmu itu merupakan bagian dari kriminologi.
Manfaat mempelajari Kriminology :
1. secara praktis
a) Menurut ajaran cvausalitet, adanya suatu akibat pasti ada hal yang menyebabkannya. Sebab itu tidak hanya satu tapi merupakan rangkaian dari sebab-sebab yang menimbulkan suatru akibat.
Sejalan dengan pandan tersebut, Francois Bacon mengatakan bahwa untuk mengetahui sesuatu yang sebenarnya harus mengetahui sebab-sebabya.
Meminjam tesis Bacon, maka untuk dapat mengerti dan memahami suatu fenomena kejahatan, harus diungkap kausanya (penyebabnya).
Dalam teori abolisionistik disebut bahwa dalam upaya penanggulangan kejahatan (mencegah dan memberantas) yang paling utama adalah mecari factor penyebabya terlebih dahulu, baru factor- factor itu dihilangkan atau paling tidak dieliminir/dikurangi.
b) Sebagai bahan pertimbangan para aparat penegak hokum dalam menjalangkan fungsi dan tugas serta kewenangannya.
c) Sebagai masukan dalam upaya penyempurnaan hokum, terutama dalam upaya penyempurnaan hukun, terutama dalam upaya membentuk hokum yang digali dari nilai-nilai masyarakat.
2. Secara personal.
a. Menambah wawasan keilmuan khususnya mengenai kejahatan
b. Membentuk kepribadian yang luhur dan bijak, terutama dalam memandang dan menyikapi adanya suatu kejahatan, sehinga terhindar dari sikap apriori terhadap pelaku kejahatan
Metode pendekatan dalam mempelajari kriminologi :
1. Pendekatan deskriptif, yaitu memberikan gambarkan tewntang kejahatan pelakunya melalui pengamatan observasi dan pengumpulan fakta-fakta kejahatan dan pelakunya, seperti jenis-jenis kejahatan, frekuensinya, jenis kelamin, umur dan cirri-ciri lainnya. Secara sederhana, dalam pendekatan ini dapat digambarakan tentang kejahatan (jenis belakang, reaksi masayarakat dan lain-lain), serta korban.
2. pendekatan kasual tau etiologis, yaitu pendekatan dengan menguanakan metode interprestasi terhadap fakta-fakta yang diperoleh, guna factor penyebabnya . pendekatan kasual ini juga dapat berupa suatu interpretasi fakta yang dapat digunakan untuk mencari sebab dan musabab kejahatan baik secara umum maupun kasusu-kasus secara individual. Pendekatan sini disebut sebagai etilogi criminal
3. pendekatan normatif, yaitu melakukan atau telah pengkajian fakta-fakta yang ditemukan berdasarkan asapek hukumnaya. Apakah fakta-fakta itu merupakan suatu kejahtan atau tidak, sehingga diharapkan dengan kriminologi berperan dalam proses kriminalisasi dan de kriminalisasi dalam rangka pembaruahan dalam hokum pidana.
Sedangkan menurut mannhein( dalam soedjono dirdjosiworo, 1994:72 )metodwe ini dapat digunakan dalam mempelaajri atau penelitian criminal metode primer dan sekunder
1. metode primer yaituh:
1. stastik kriminologi: angkah-angkah yang menunjukan jumlah criminalitasa yang tercatat dalam suatu tempaty atau weaktu tertentu
2. tipologi; mempelajri kejahatan atau penjahat dengan cara melihat cirri-ciridan fenomena tersebut dan
3. studi kasusu yaitu mempelajari kejahatan dengan melalaui penyelididkan terhadap kasus-kasus dengan cara mendalam seperti tentang sejarah kejahatan (karier) dan sejarah kehidupan yang relevan dengan ini. Dapat dilakukan dengancara koesiner , wawancara, otobografi dan sebagainya/.
2 metode sekunder yaitu:
1. metode sosiologis: mempelajari komunitas lembaga daaerah yang dipandang relevan dengan kejahata
2. metode eksperimental: metode iini biasanya dipakai dalam ilmu alam (eksata) dan pisikologi. Di dalam kriminologi, metode ini terutam digunakan dalam untuk studi pemidanan dan etilogi criminal
3. metode prediksi: metode ini misalnya dim pakai untuk mermalkan perilaku anak pada masa depannya dan
4. metode operasional(action seargah)metode ini digunakan untuk usah-usah mencegah kejahatan dan pebaikan dalam perilaku kejahatan.
Kejahatan
Pengertian kejhatan;
Sosiologi: perbuatan melanggaran norma masyrakt
Yuridis : perbutan melanggaran norma hokum
Kriminologis: perbuatan melaggaran norma masyarakat dan hokum.
Munculnya pengertian krminiologi ini karena pada dasaranya adanaya kemungkinan suatu perbuatan dikatakan kejahatan secara yuridis tetapi bukan mealalui sosiologis seperti membunuh penjahat(eigenrichting), 504 KUHP bunuh diri, pelacuran dll. Tapi sebaliknya secara sosiologis tapi tidak secara yuriids seperti kumpul kebo.
Unsure-unsur kejahtan
1. mempnyai akibat-akibat atau kerugian nyata
2. akibat atau kerugian tersebut dilarang uu
3. perbuatan
4. men rea, maksud jahat
5. ada hubungan dengan perbuatan atau kejadaian mens rea
6. adanya hubungan perbuataan dengan kerugian
7. sanksi uu

jenis kejahatan
a) kejahtan terhadapa harata benda
b) kejahatan terhadap subyek hokum
c) ]kejahtan ketertiban umu
d) kejahatan kesusiklan
e) pelanggaran 359, alapaq kemataian. 360 alpa luka berat, 409 merusak fasilitas umum
f) kejahatan terhadap perempuan
g) kejahatan di bidang ekonomi
h) kejahatan di bidang polotik
i) pelanggaran baru(WCC,CC,OC.dll)
kejahatan dalam pembahasan ini termasuk pelnggaran, perbedaan dengan pelanggaran
1. adanya kareana dilarang uu
2. sanksi lebih ringan
3. ]kerugian yang dideritan kecil
4. diatur dalam buku III kuhp
5. percobaan pelanggaran tidak dipidana
data kejhatan tahun 2000 berdasarakan hasil penelitian menunujukan frekuensi kejahatan: curas: :4,5 menit penganiayan berat: 31 menit , pemerasan: 3 jam pemerkosaan: :3,5 jam penculikan :4,5 janm penculikan dan pembunuhan 4,5 jam.
Modus kejahatan
1. mengunakan alata ata seperti senjata atau tanpa senjata
2. ada kontak langsung antara pelaku atau tidak ada kontak, seperti penganiayan atau tanpa kontak seperti penipuan
3. mengunakan cara yang sudah dirumuskan dalam uu atau tidak
teori kausa/ sebab kejahatan


1.teori kalsik/primitf roh jahata/ kemauan bebas
berdasarakan perdata : ajaran ini menyebutkan bahwa perbuaatan jahat atas dasar pertimbangan suka duka (kehendak bebas).berdasarakan dalam lain menyebutkan bahawa dalam buku ini adalah ajaran roh jahat 30 sesudah masehi.:pengarauh setan
pandangan iii orang-orang primitf dizaman kuno dan pertengahan dengan tujuannya menghindara kehidupan bersama dengan orang berbahaya , misalnya sakit aneh atau mati tidak wajar, orang kuata atau sdakti banyak dibantu roh halus
roh halus suka membalas dendam
manusia pada haketatnya adalah baik
2. teori sosiologis/ekonomi
kejahtan disebabkan oleh determinasi ekonopmi atau terlilit ekonomi mengejara (tergiur) prisip ekonomitoko sentral dari mazhab sosialis : marrx dan angeles 1850determinisme ekonomi
plato : emas, manusia adalah sumber dari kejahatan
Negara terdapat banyak orang miskin, terdapata banyak penjahat, tukang copet, pemerkosan agama.
Aristoteles:
Makin tinggi pengharagaan manusia atas kekayanan, maka makin merosot pengharagan atas tata norma.
Kemiskinan dapatam mendorong kejahtan dan pemberontakan kejahatan besar tidak sekedar untuk hidup tapi kemewahan.
W.A.Bonger .melakukan pendidikan ke 8 negaara (1917):bahwa kesulitan cbeyktif (ekonomis) seperti penganguran merupakkan pemicu kejahtan
Thomas V an Aquino: kemiskianan amat berpengaruh terhadap kejahatan oaring kaya suka berfoya-foya kemudian jauh miskin, mudah mengadi jahata atau mencuri. Bahwa dalam keadaan memaksa (kemiskinan sangata tinngi) bol;eh otrqangh mencuri.
Montesque: sebab-sebab kejahatan karena kemisskinan.
Thomas more: banyak gelandangan pengangguran tanpa mata pencaharian menimbulkan kejhatan.
Von Mayaor: (subyektif nanharungserchwerung:penganguran). Turun naiknya harga gandum 0,5 penny 1 pencurian 100.000 penduduk, imigrasi dan upah buruh sejalan dengan naik tururnya kejahatan.
Turati (Italia): nafksunya memiliki harata dapat menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomis, disamping kekurangan dan kesensaraan.
B.soendarsoono. mebuktikakn dalam buku: Andi Hamza: rendahnya gaji pegawai dibandingkan makin meningkatnya kebutuhan tiap hari adalah penyebabnya korupsi.
Achoorly: 50.00 dibanding 203 000 polisi permulaan tahun 1984
Harvey baraner: krisis ekonomu menimbulkan pengangguran, sejumlah pengangguran cendeerung bergabung diri dan merancang suatu kejahatan.
A. Quetelet: kejahatan dapt diatasi dengan perbaikan kehidupan manusia.
3. teori fisogomi/lambroso (Italian school 1876) antropoloiogi krminal
Lambroso dilahirakan dari keluaraga yahudi di venesia. Seorang dokter IKK melakukan penelitian terhadap tengkorak maniusia di pengaruhi ole pendapat ARISTELES: bahawa tentkorak tempat otak , otak sumberkecakapan, akal berpengaruh terhadap niat jahat.
 penjahat adalah orang yang memiliki bakt jahat
 bakt jaht karena keturunan(born Crime)
 biasanya di lihat dari cirri fisik: tengkorak besar, rahan bawah panjang, hidung pesek, asimetris, dahi kebelakan,g, making tua cepat botak kepalah tengah. Rambut janggut jarang, than sakit, alis tebal dan bertemu, rqmbut tumbuh hamper selluruh tubuh, gigi tidak seperti biasa. Kurang dari 3 bukan penjahat, 3-5 meraguakan, 5 lebih di pasatiiakn oaring itu cenderung memiliki perilaku criminal.
 perubahan fisik tidak berubah bakt jahat.
ERNEST kretschmer: mebagi dalam 3 golongan fisik:
 leptosome: kerus ceking, tertutup (distansi jaga jarak), pemalsu
 piknis : sedang ramah, penipuan dan pencurian
 atletis, tinggi besar, tulang urat kuat, dada lebar,dagu kuat menonjol, sedang, kejahatan kekersan seks.
Positif dan negative teoritersebut:
(+) pertimbangan hakim: RHA soenario; membuat pertimbangan hakim
(-) aparat terlalu aprori (melaggara asas presemption of innocent
Ada korelasi usisa dan kejahatan
GUERY: jenis kelamin usia berhubungan erat dengan kriminalitas.
NIco muller berdasarqakan hasil penelitian eropa:
- 21 pencurian sederhana umunya TPHB
- 21-30 mulai sifatnya meyerang, penganiayan, perampokan dan penentangan
- 30-50 pengelapan
- 50 ketasa penghinan, kesuislan (homoseks)
Ada korelasi usia jenis kelamin dengan kejahatan
NOACH:
- kriminalitaas wanita lebih besar dar PN
- lingkungan waniota menghindar dari kejkahatan
- waktu terbatas(haid dan melahirkan tugas RT)
- sifat juga: beda dengan pria tidak mudah bosan, seks 45-50
ditemntang oleh
BENEDICTH: bahwa bukan sifatnya tapi lingkungan sekitarnya
Bukan berdasarkan penelitian ilmiah tapi perkiraan
Ch Goring : penelitian di universitas cambirge dan 0xford: ternyata banyak yang baik, lingkungan yang dominan, ayah yang mencuri ditutup supaya tidak ditiru(ayah dLP) sejak kecil lebihy potensi jahat
Sutherland : kekeliruan dalam mengambil sampel, kurangnya sample non criminal Mazahab Indonesia: soejono dirjosisworo dan simantjuntak “doktrin krmiinil” tidak mengenal penyebab tungal multi teori, yang domiananteori lingkungan . Indonesia menolak teori cirri fisik.

4. Teori mental tester
Godarad: kelmahan otak (yang diturungkan orang tua menyebabkan orang tersebut tingkah lakunya berakibat dan dilarang)
Godarad: usia 12 tahunIQ 100 normal, 75 dibawah lemah ingatan 70% napi lemah ingatan
5. pisiki Freud / psikologi krijminal / psikogenik.
Doktern dari perancis JC.De. la Mettrie: kejahtan banyak di penagaruhi aspek kejiwaan pelaku yaitu : fungsi-fungsi pisikis yang bersuber pada otak.
Sigmaun Freud: kejahatan karena pengaruh “alam dibawah sadar” Oedipus complex
Pasal 44 kuhp bahwa tidak melakuakan TP jika dia gila / tergangu mentalnya.
Edwads wells : self theories: proses aktualisasi diri: seorang yang cenderung ekpresif dalam menoonjol diri, jia tak tersalurkan memilki kejahatan sebagai altenatif.
Leonard berkowits: frustration aggression theorie : orang frusatasi muncul agressifitas yang tinggi.
Is soesanto:
1. Traumatic psikosis: karena trauma fisik/ geger otak, mudah gugup, emosi, kekerasan.
2. enchepalitislethargica: anak-anak suka melanggar
3. senile dementia: pengaruh usia mudah tersingun terutama pada anak kecil.
4. puerperal insanity: cemas pada wanita (status, ekonomi, mitos, medis)
5. psiskis alholis:
 + normal: kadang-kadang
 + phatlogis: tidak stabil, sedikit saja garang.
 + kronis: halusinasi
6. phobia: ketakuatan yang berlebihan (Nycopiha / gelap aero phobia/ tinggi, Gynophia/ waqnita, ocopobiha / oaring banyak, monopobiha / sendiri.).
7. obsesional ( compulase neuroses ): kegagalan cita-citaz
8. psikopat : jiwa tega, kejam, pembunuh
9. deviasi seksual: transfomatoris, lesbianism, sadisme/masokisme dll
10. delirum: cara berpikir kacau dan tidak kecakapan( bias akibat deman tinggi ).
11. delusi ( waham): halusianasi: kaeaykianan tidak sesuai kenyataan( suara)
12. ilusi: interprestasi dari eksternal tali dikira ular
13. dorongan inmpuls: motivasi yang tinggi untuk berbuat sesuatu kleptominai :mencuri
Piromania: membakar
Dipomi: minum alchol
Melangkolia: depresi yang tinggi
14. paranoid: diaqtas 30 tahun: tegan dan cemas yang tinggi, akhirnya menyerang orang yang yang lain.
6. teori sosiologis/ lingkungan/ diferrention association
Muncul di perancis abad 19.
Reaksi terhadap ajaran lambroso. Bahwa kejahatan disebabkan pengaruh sekitar lingkungan.
Lingkungan yang dimaksud:
1.lingkungan pemberi kesempatan
2.lingkungan pergaulan pemberi contoh.
Alberth Bandura: social learnin theorie : perilaku manusia agresif lebih merupakan hasil dari proses belajar.
Gustave Leo Bon : orang yang bergabung massa banyak maka kepribadian menjadi pribadi massa
Robert owen : lingkungan yang jelek membuat manusia yang jahat, lingkungan yang baik membuat manusia baik.trade : “ if steel a man murder he is merely imitatin someone else” kejahatan yang dilkkukan oleh seseorang adalah hasil peniru terhadap perbuartan kejahatan yang ada dalam masyarakat dan ini terus berlangsung.
“de welt is mehrt schuld an mir, al ic: dunia lebih bertangunjawab terhadap bagaimana saya, dari pada saya sendiri.
Jhon : pemudah yang dekat dengan delinkuen lebih unttuk melibatakan diri dengan kriminalitas dari pada pemudah yang tidak punya teman pergaulan dengan delinkuen.
Lassagne: penyebab kejahatan adalah keadaan social yang disekililing manusia 1980 ( ingat daud yusuf hentikan mana suka sirana niaga ).
Mannheim.
1.perbedaan kelas social: kelas bawah mudah tersingun Robert K Merton. Berpendapat sama :struktur masyarakat berkelas-kelas perbedaan mendapat kesempatan dalam mencapai tujuan.misalnya lower klass mempunayi kesempatan lebih kecil dari pada upper calas sehingga menimbulakan kecemburuan social.
2.Ekologi ( kepadatan penadatan, mobilitas penduduk, urbanisasi) pendapat serupa dengan Ferry Von List : hawa panas suatu musim panas ikut mempengaruhi angka kejahatan. Oang eropa umunya cepat marah dan mudah naik pitam pada musim panas,
a.kepadatan penduduk semakin padat maka meningkat perselisihan
b.mobiltas penduduk : arus tranportasi yang semakin mudah memicu munculnya pergesekan.
c.urbanisasi: dengan tujuan mata pencaharian tidak capai, berpeluan melakukan kejahatan.
Di idukun oleh pendapat Walter A. Luden : cirri Negara yang berkembang terdapat pembangunan yang sering menimbulkan konflik antara norma adat pedesaan tradisional dan norma-norma baru yang tumbuh daalam proses dan pergeseran social. Konflik itu menyimpan potensi criminal.
3.T. selling : konflik aturan, keinginan untuk menguasai, hidup bersama
4. diferrential asiciation.
Pergaulan sering disebut sebagagi factor yang menimbulkan kejahatan.
Proposisi teoeri sthurlang:
1. perilaku jahat adalah perilku yang di pelajri berarti menolak karena keturuanan (bakat)
2.dipelajari melalui interaksi denagn orang lain melalui komunikasih
3.komunikasi dimaksud adalah intim
4.yang dipelajari adalah motif / alsaan dan modus operandi
5.arah dari motif / alasan dipelajari melalui atauran hokum apa menguntungkan atau tidak
lingkungan
1. keluarga.
Broken home
Ninik widjanti :40% nakal mayoritas anak gadis dari pada laki-laki.
Peribahasa suku. “ amaxosa “ jikla burun induk mati maka telur-telur akan membusuk.
Kemal darmawan : pengabaian anak adalah factor penyebab kejahatan pada umumnya, bukan hanya penyebab kenakalan anak.
1.jumlah keluarga besar
2.kedudukan anak
3.salah satu jahat
4.perbedaan SARA
Teori kontrol : made sadi astuti: perilaku penyimpangan disebabkan karena kurang control baik dari orang tua atau masyarakat. Anak tidak memmiliki rasa hormat atau sosok panutan lagi.
2. sekolah
1.1/3 dari masa hidup
2.Bonger: kejahatan diawali kenakalan anak dan remaja
3.kelompok.
a. insidentil
b. massa
Prinsip dalam dunia psikologi adalah seseorang berada ditengah-tengah kerumunan orang, potensi merubah kepribadian orang menjadi kepribadian orang banyak
c. Gen (terorganisir)
kelompok ini memiliki cirri-ciri antara memiliki kepimpinan, pengkaderan, jaringan luas, aturan main organisasi, sebagai mata pencharian.
d. koorporasi (white collar crime)
7. teori labeling? Stigma/ cap jahat
Edwin M Lamert : ada hubungan antara proses stigmatis dengan kehidupan pelaku kejahatan. Diberu cap sebagai orang yang jahat secara emosional berpengaruh terhadap konsepsi diri individu dan penampilan perannya.
Meskipun menurut Netller : labeling menagandung keuntungan yaitu membantu kriminalisasi sebagai reaksu mahasiswa sehingga menajadi upayah preventif dalamteori iini lahir setelah tahun 1960-an seiring dengan perkembanbangan criminal yang pesat, terutama di pengaruhi oleh keadaan perkembangan social ekonomi di AS yakni dengan adanaya:
1.gerakan-gerakan tuntutan hak-hak demokrasi dari organ-organ kulit hitam
2.wqanita
3.mahsiswa yang menghendaki kehidupan kampus yang demokrasi dan wamil ke Vietnam
Tuntutan itu merembet kepada kehidupan kalangan ilmuwan yang yang juga menuntut perlunya pengujian terhadap teori-teori keilmuwan.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme