URGENSITAS PENAFSIRAN HUKUM KONSTITUSI PADA MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh: Arming, S.H
Mahasiswa Hukum Pasca Sarjana UB Malang Ja-Tim

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah berdirinya Mahakamah Konstitusi (MK) diawali dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu.
Selain itu kewajiban dan wewenang MK menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah: Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. Selain itu juga dibentuknya lembaga ini yakni tidak lain dan tidak bukan mempunyai suatu tugas yang cukup berat dalam Negara Indonesia salah satunya menjaga konstitusi Negara Republik Indonesia.
Mebicarakan mengenai penafsiran dalam hukum yang terjadi di Negara Indonesia sering sekali dugunakan khususnya oleh para hakim-hakim yang berda di Mahkamah Konstitusi. Hal yang sangat menarik memang membicarakan mengenai penafsiran dalam dunia hukum dapat dilihat dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan yang belum diatur dalam perundang-undangan ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap. Bahkan seperti dikemukakan Sudikno Mertokusumo, bahwa tidak ada hukum atau Undang-Undang (UU) yang lengkap selengkap-lengkapnyanya atau jelas dengan sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu kalau UU-nya tidak jelas atau tidak lengkap harus dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan hukumnya.
Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).
Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode me mahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya. Dalam hubungan ini Gadamer mengatakan, seperti dikutip oleh Arief Sidharta, Ilmu Hukum adalah sebuah eksamplar Hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkan Ilmu Hukum ketika mengha dapi kasus hukum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga ter hadap kenyataan yang menyebabkan munculnya masa lah hukum itu sendiri. Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat per bedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan inter pretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang berbeda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pan dangan penafsir sendiri. Kedua pandangan itu kemudian diramu dengan berbagai aspek yang dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.
Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manu siawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks hukum yang dihasilkan olehnya. Gregory Leyh mengatakan hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum di dalam kerangka hermeneutika pada umumnya.
Dalam hubungan dengan penafsiran atau interpretasi, Alexander Peezenick menyatakan, “statementsare partly a result of the author’s philosophical back ground, partly a useful tool for political debate”. Pandangan konvesional dalam penafsiran undang-undang menganggap bahwa pengadilan harus berupaya menemukan tujuan atau maksud dari pembuat undang-undang (the framers’ intent). Penafsiran demikian sejalan dengan pandangan bahwa proses pembentukan undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai-nilai diantara berbagai kelompok kepentingan. Bagi pembentuk undang-undang, kesepakatan adalah produk tawar menawar (political bargain). Metode serupa juga digunakan dalam penafsiran perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan maksud pembentuk undang-undang, bagaimanapun, lebih sulit ketimbang menemukan maksud yang melatarbelakangi kontrak-kontrak perdata, sebab badan pembuat undang memiliki ciri kemajemukan. Pernyataan-pernyataan pribadianggota badan pembentuk undang-undang, tidak bisa otomatis dianggap pengungkapan pandangan mayoritas yang paling mempengaruhi suatu undang-undang.
Penafsiran konstitusi, di Jerman misalnya, menurut Leibholz, Mahkamah Konstitusi Jerman adalah mahkamah yang bebas, membantu dengan memberikan jaminan kebebasan bagi pengadilan dan menjalankan fungsi administrasi hukum dalam pengertian materil. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi Jerman disebut hukum yang sesungguhnya (real law). Keputusan-keputusannya merupakan putusan yang murni bersifat hukum, di mana hakim-hakim tidak melakukan penemuan-penemuan di luar batas substansi hukum dasar, melainkan mengungkapkan makna esensi hukum sebagai suatu pendirian atau sikap. Hukum konstitusi tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkamah Konstitusi disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-perubahan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisialnya. Pentingnya menafsirkan konstitusi dalam hal ini, kita mengetahui bahwa lmu hukum kontemporer sebenarnya telah membawa dalam dirinya sendiri kelemahan-kelemahaan yang bersifat bawaan. Kegiatan interpretasi atau penafsiran, merupakan akitivitas yang inheren terdapat dalam keseluruhan sistem bekerjanya hukum dan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya sejak zaman dahulu sampai sekarang, ilmu hukum belum juga berusaha memberikan tempat yang khusus kepada kegiatan interpretasi itu sebagai pusat perhatian yang utama. Dalam hal ini bagaimanapun juga, ilmu hukum itu berkaitan dengan soal kata-kata, sehingga aktivitas tafsir-menafsir menjadi sesuatu yang sangat sentral di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
Dalam pemaparan yang telah terterah di atas dalam tulisan ini akan di jadikan permasalahan adalah:
Seberapa besar pengaruh penafsiran hukum konstitusi dalam ranah perdilan Mahkamah Konstitusi ?

C. Hampiran Teoritik
1. Pengertian dan landasan penafsiran hukum
a. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Pandangan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.

b. Landasan penafsiran hukum
Setiap peraturan perundang-undangan bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sifatnya umum, dan pasif karena tidak menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret. Peraturan yang bersifat abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif. Oleh karena itu, setiap ketentuan perundang-undangan perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Bahkan teks undang-undang itu tidak pernah jelas dan selalu membutuhkan penafsiran. Hal ini pernah disebutkan oleh Achmad Ali:
“Barang siapa yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya yang menyatakan demikian, sudah melakukan interpretasi sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil interpretasinya terhadap teks tersebut”
Apa yang dikatakan oleh Achmad Ali senada dengan yang disebutkan oleh A. Pitlo, bahwa “kata-kata apapun tak pernah jelas. Ia selalu membutuhkan penafsiran.” Hal ini membantah pandangan lama yang menyebutkan In claris non est interpretation (aturan-aturan yang jelas tidak membutuhkan penafsiran).
Adanya pandangan In claris non est interpretation atau aturan-aturan yang jelas tidak membutuhkan penafsiran itu lahir dari sistem hukum eropa kontinental (civil law) yang mengutamakan keberadaan undang-undang sebagai fondasi utama dalam berhukum.
Dalam doktrin Trias Politica Montesquieu, kekuasaan negara itu dipisah menjadi 3 bagian utama, yaitu legislatif sebagai pembuat undang-undang yang berasal dari kedaulatan rakyat; eksekutif yang menjalankan undang-undang; dan yudikatif sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bernegara dengan menkonkretkan hukum tertulis. Hakim hanya perperan sebagai cerobong undang-undang.
Disamping itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang Undang Dasar. Seperti dikemukakan oleh K.C. Wheare, undang-undang dasar dapat diubah melalui: (i) formal amandemend, (ii) judicial interpretation, dan (iii) constitutional usage and conventions.
Pentingnya penafsiran hukum dalam ilmu hukum dan dampaknya yang dapat bersifat luas karena dapat menjadi sarana pengubah, penambah, atau pengurang makna konstitusi, mengharuskan penafsiran hukum dilakukan secara bijaksana dan mempertimbangkan berbagai faktor baik di dalam maupun dari luar hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, bila kita akan melakukan penafsiran hukum (tertulis) maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah meneliti apa niat (intensi) dari penyusunnya. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Jaksa Agung Amerika Serikat pada masa Ronald Reagan, Edwin Meese III, bahwa “satu-satunya cara pengadilan untuk menafsirkan konstitusi agar legitimate adalah mengikuti intensi (niat) yang asli dari penyusun dan meratifikasinya.
Jadi tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila peraturan perundang-undangan tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain apabila peraturan perundang-undangannya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat membuat keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum. Atas dasar itulah, menafsirkan peraturan perundang-undangan adalah kewajiban hukum dari hakim.
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk kepada pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundang-undangan, hakim harus mencarinya dalam kata-kata tersebut. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Menurut Polak, cara penafsiran ditentukan oleh: a. Materi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan; b. Tempat perkara diajukan; dan c. Menurut zamannya.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus (konflik) dan peraturan-peraturan hukum. Yang dimaksud penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Namun penafsiran hukum oleh hakim mendapatkan posisi yang paling penting dalam hukum karena memiliki karakteristik yang mengikat.
Secara doktrinal atau ajaran para ahli hukum, kewenangan hakim untuk melakukan penafsiran hukum dapat ditelusuri dari pendapat Paul Scholten dan Rescoe Pound. Scholten menyatakan bahwa: “hukum memang ada di dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan.” Hal ini menunjukkan bahwa maksud dari suatu undang-undang itu tidak hanya dapat dipahami lewat membaca teks undang-undang saja, tetapi juga perlu ada pemaknaan atau pemberian makna dari teks yang tertulis. Sedangkan Pound menyebutkan “Law is a tool of social engineering.” Ungkapan Pound tersebut mengkonstruksikan hukum berperan sebagai alat rekayasa sosial. Bahkan lebih dari itu, justru dipundak hukum juga mempunyai misi agar sektor hukum tersebut dapat secara aktif memodernisasi masyarakat. Hukum (law) yang dimaksud oleh Pound di atas bukanlah berarti undang-undang, melainkan keputusan hakim. Ajaran yang digagas oleh Rescoe Pound, yang menekankan pentingnya peranan pengadilan dalam merubah masyarakat itu disebut ajaran atau mazhab realisme hukum. Realisme hukum kemudian mempengaruhi pemikiran hukum modern yang erkembang di Amerika dan Skandinavia. Realisme hukum pada dasarnya meninggalkan pembicaraan mengenai hukum yang abstrak dan melibatkan hukum kepada pekerjaan praktis untuk menyelesaikan problem-problem dalam masyarakat. Bahkan lebih lanjut pandangan seperti ini dapat sampai pada mazhab hukum bebas (Freirechtslehre) di mana hakim bebas melakukan penafsiran hukum.
c. Penafsiran Hukum pada umumnya
1. Penafsiran hukum menurut Utrecht
Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode penafsiran, yang paling sering ditemui adalah metode-metode yang dikemukakan Utrecht, penafsiran undang-undang dapat dilakukan dengan 5 (lima) metode penafsiran, yang terdiri dari:
a. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
Penafsiran yang menekankan kepada arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). Utrecht memberikan penjelasan tentang penafsiran menurut kata atau istilah (taalkundige interpretasi) ini, yaitu kewajiban dari hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut Utrecht, merupakan penafsiran pertama yang ditempuh atau usaha permulaan untuk menafsirkan. Penafsiran yang demikian ini sama dengan penafsiran gramatikal yang melakukan penafsiran berdasarkan bahasa.
b. Penafsiran historis (historische interpretatie)
Metode penafsiran dengan sejarah hukum menurut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang dan (ii) penafsiran sejarah hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran sejarah hukum yang bertujuan mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. Dalam arti sempit, yaitu penafsiran sejarah undang-undang adalah penafsiran yang ditarik dari risalah-risalah sidang dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pembahasan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada bagian ini diuraikan mengenai metode penafsiran historis dalam arti luas. Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan makna historis suatu pengertian normatif dalam undang-undang, penafsiran juga harus merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau. Termasuk pula merujuk kepada hukum-hukum masa lalu yang relevan. Menurut Utrecht, penafsiran dengan cara demikian dilakukan dengan cara menafsirkan suatu naskah menurut sejarah hukum (rechtisstorische interpretatie). Penafsiran historis demikian itu dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah dari sistem hukum yang pernah berlaku, termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih diberlakukan di negara lain.
c. Penafsiran sistematis
Metode ini menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum (systematische interpretatie, dogmatische interpretatie) itu sendiri. Artinya menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dari suatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan. Dalam penafsiran ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem.
d. Penafsiran sosiologis/teleologis
Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. contohnya pada kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Metode penafsiran teleologis memusatkan perhatian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what does the articles would like to achieve). Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah hhukum menurut tujuan atau jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan aktual.
e. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)
Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie) menurut Utrecht, merupakan penafsiran sesuai dengan tafsiran yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri. Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.

d. Penafsiran lainnya
Disamping kelima metode di atas, para ahli hukum juga banyak menyebutkan metode penafsiran hukum lainnya. Metode yang dimaksud adalah yang dikemukakan oleh Visser’t Hoft, Sudikno Mertokusumo sebagai berikut:
1. Penafsiran Subsumptif
2. Penafsiran Komparatif
3. Penafsiran Antisipatif/Futuristis
4. Penafsiran Restriktif
5. Penafsiran Ekstensif
6. Penafsiran Interdisipliner
7. Penafsiran Multidisipliner
8. Penafsiran Dalam Kontrak atau Perjanjian
9. Penafsiran Evolutif-Dinamis
10. Creative Interpretation
11. Artistic Interpretation
12. Social Interpretation
13. Constructive Interpretation
14. Literal Interpretation
15. Conversational Interpretation
16. Teori Penafsiran Sosio-historis
17. Teori Penafsiran Filosofis
18. Teori Penafsiran Holistik
19. Teori Penafsiran Holistik Tematis-sistematis

2. Konstitusi
a. Pengertian
Istilah “konstitusi” dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti membentuk. M. Solly Lubis mengemukakan Istilah “konstitusi” berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara, atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.
Herman Heller membagi pengertian konstitusi itu ke dalam tiga pengertian yakni sebagai berikut:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche Wirklichkeit) dan belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan hukum.
2. Baru setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die Verselbstandgle Rechtsverfassung). Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut dengan istilah abstraksi.
3. Kemudian orang mulai menuliskan dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita menghubungkan pengertian konstitusi tersebut dengan pengertian Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar itu hanyalah merupakan sebagian dari pengertian konstitusi itu sendiri. Dengan perkataan lain, konstitusi itu (die geschriebene verfassung), menurut beberapa para sarjana merupakan sebagian dari konstitusi dalam pengertian umum.

F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuasaaan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah sesungguhnya konstitusi.
2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (Eine Gesammtentscheidung über Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Sedangkan James Bryce mengartikan konstitusi adalah “A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized functions and definite rights”.
Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan:
1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen;
2. Fungsi dari alat-alat kelengkapan;
3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Kemudian C.F Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut “Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.”
Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:
1. Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas);
2. Hak-hak yang diperintah;
3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).
Menurut K.C. Wheare yang mengartikan konstitusi sebagai “Keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.” Peraturan di sini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (nonlegal). Sehingga, dari pengertian K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, disimpulkannya bahwa “konstitusi dalam dunia politik sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu: Pertama, dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan di dalamnya terdapat campuran tata peraturan, baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan hukum (nonlegal atau extra legal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.”
Namun, apapun bentuknya, suatu konstitusi sejati mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal berikut: Pertama, cara pengaturan berbagai jenis institusi; Kedua, jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut; dan Ketiga, dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Penafsiran Hukum Konstitusi Dalam Ranah Perdilan Mahkamah Konstitusi
Kehidupan hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system). Hal ini masih dapat dibuktikan sampai hari ini dengan masih digunakannya beberapa undang-undang yang menjadi “tulang punggung” hukum Indonesia modern, misalkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan pengadopsian dari Wet Boek Van Straftrechts di Negeri Belanda tempo dulu. Begitu juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek). Dalam sistem hukum civil law hukum dipandang hanya ada dalam peraturan perundang-undangan formil, peraturan perundang-undangan formil itu ada dalam undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Bahkan undang-undang yang dibuat oleh legislatif itu tidak dapat diganggu gugat karena ia merupakan hasil dari demokrasi melalui pembuatnya, yaitu legislator. Sehingga yang berhak untuk merubahnya hanyalah legislator itu sendiri.
Sebagai konsekuensi dari tidak dapat diganggu gugatnya undang-undang, maka peran hakim dalam civil law system hanya sebagai cerobong dari undang-undang (la bouche de la loi), hakim hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis. Namun Dalam perjalanan sejarah, bila dulu hakim disebut cerobongnya undang-undang, maka dalam hukum modern ada freiheid, kebebasan hakim. Jadi hakim boleh menerapkan dan boleh juga tidak menerapkan undang-undang (contra legem). Kemudian juga ada istilah rechtsverfijning atau pengkonkretan hukum.
Kebebasan hakim sebagaimana disebut di atas bahkan sampai kepada kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan yang dibuat oleh legislatif maupun eksekutif. Kewenangan hakim melalui Pengadilan atau Mahkamah sebut saja MK untuk menguji peraturan perundang-undangan (maupun undang-undang dasar) kemudian disebut judicial review¸ dan pengujian terhadap konstitusionalitas suatu norma hukum terhadap konstitusi disebut pengujian konstitusional (Constitutional Review).
Jika diistilahkan “konstitusi” dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti membentuk. M. Solly Lubis mengemukakan Istilah “konstitusi” berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara, atau menyusun dan menyatakan suatu Negara. Dalam hakl ini juga dikemukan konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (Eine Gesammtentscheidung über Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Sedangkan James Bryce mengartikan konstitusi adalah “A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized functions and definite rights”.
Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan: Pertama, pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen, Kedua, fungsi dari alat-alat kelengkapan. Ketiga, hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, masalah kebutuhan untuk melakukan pengujian hukum (undang-undang) sudah cukup lama membara dalam pikiran kaum intelektual kita. Muhammad Yamin misalnya, dilaporkan ingin memasukkan pengujian hukum tersebut dalam Undang Undang Dasar. Tetapi, Soepomo menolaknya, dengan alasan, kita masih belum siap melakukan itu. Kita belum punya ahli untuk pekerjaan itu, kata arsitek Undang Undang Dasar 1945 itu.
Istilah pengujian konstitusional (Constitutional Review) berbeda dengan istilah judicial review. Pembedaan ini dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana Undang-Undang Dasar memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap Undang-Undang Dasar.
Berkenaan dengan hal tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian konstitusionalitas itu merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau lembaga mana saja, tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan yang diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu Negara. Seperti dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, ataupun oleh Mahkamah Agung dan badan-badan khusus lainnya. Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga peradilan, seperti dalam sistem Perancis, disebut Counseil Constitutionnel yang memang bukan court atau pengadilan sebagai lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi yang merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah judicial review, maka dengan sendirinya berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya adalah pengadilan atau lembaga yudisial (judiciary). Namun, dalam konsepsi judicial review cakupan pengertiannya sangat luas, tidak saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.
Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.
Dalam praktek sehari-hari maupun dalam lingkungan fakultas-fakultas hukum di tanah air kita, istilah-istilah toetsingrechts, judicial review, dan constitutional review memang sering dicampuradukan pengertiannya masing-masing. Istilah judicial review jelas tidak sama dengan constitutional review, dan berbeda pula dengan pengertian judicial preview seperti dalam sistem Perancis. Kalau berbicara mengenai hak atau kewenangan untuk menguji maka digunakan istilah hak untuk menguji atau hak uji, yang dalam bahasa Belandanya disebut toetsingsrecht. Jika hak uji diberikan pada hakim, maka namanya judicial review atau review oleh lembaga peradilan. Jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada lembaga legislatif, maka namanya legislative review, dan jika kewenangan itu diberikan pada eksekutif, maka namanya executive review.
Hak menguji (toetsingsrecht) terbagi atas dua macam, yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Hak menguji materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.
Sedangkan, hak uji formal ialah mengenai prosedur pembuatan undang-undang, dan hak uji material ialah mengenai kewenangan pembuat undang-undang dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara a posteori, maka pengujian itu dapat disebut sebagai judicial review. Akan tetapi, jika pengujian itu bersifat a priori, yaitu terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan judicial review, melainkan judicial preview. Jika ukuran pengujian itu dengan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka kegiatan pengujian itu dapat disebut sebagai constitutional review atau pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law). Namun, apabila norma yang diuji itu menggunakan undang-undang sebagai batu ujian, misalnya Mahkamah Agung menurut pasal 24A ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka pengujian semacam itu tidak dapat disebut sebagai constitutional review melainkan judicial review on the legality of regulation. Dengan demikian, harus dibedakan juga antara upaya pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dengan upaya pengujian legalitas (legal review). Di samping itu, harus dibedakan pula kualifikasi dari norma hukum yang diuji. Jika normanya bersifat umum dan abstrak (general and abstract), berarti norma yang diuji itu adalah produk regeling, dan hal ini termasuk wilayah kerja pengujian dalam konteks hukum tata negara. Akan tetapi, kalau norma hukum yang diuji itu bersifat konkrit dan individual, maka judicial review semacam itu termasuk lingkup peradilan tata usaha negara. Sehingga dalam konteks sistem constitutional review tercakup dua tugas pokok. Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem dalam demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan; Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.
Dari hal di atas ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh C.F Strong dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut “Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.”
Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:
1. Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas);
2. Hak-hak yang diperintah;
3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).
Sehingga secara esensial kita dapat memahami secara seksama bahwa begitu besarnya dan pengaruh penafsiran hukum terhadap konstitusi di Negara Republik Indonesia. Sehingga sampai sekarang tatanan pemerintahan di Negara Indonesia ini masih tetap berjalan pada porsi masing-masing.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengaruh yang ditimbulkan cukuplah besar mengenai penafsiran hukum konstitusi dengan mengingat beberapa point penting: Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem dalam demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan; Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga Negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.

B. Saran
Dalam era modern seperti sekarang ini perlunya untuk menciptakan suatu langkah hukum yang baru dalam rangka mencapai suatu keadilan yang sebenar-benarnya, tidak hanya pada keadilan prosedural semata, melainkan keadilan subtansial juga. Sehingga perlu adanya pengembangan mengenai penafsiran hukum di Negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA


Ali Achmad, 2002 “Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis”, Toko Gunung Agung: Jakarta.

Ananda R.M, 2005 “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita,” Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 3, Jakarta

Asshiddiqie Jimly, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta.

Farida Maria Indrawati Soeprapto, 1998 “ Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya”, Kanisius, Yogyakarta.

Fuady Munir, 2003, “Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hoft Ph. Visser’t, 2001 “Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding”, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Laboratorium FH Univ Parahiyangan: Bandung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 Cetakan ketiga, Balai Pustaka.

M. Fauzan Ahmad Kamil dan, 2004, “Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi”, Kencana, Jakarta.

Mertokusumo Sudikno dan A. Pitlo, 1995 “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.

Ni’matul Huda dan Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, 2005, “Teori Dan Hukum Konstitusi”, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Riyanto Astim, 2000, “Teori Konstitusi”, YAPEMDO, Bandung.

Sahidin, 2009, “ Pentingnya Penafsiran Hukum”, Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2129234-hermeneutika-hukum/#ixzz1JKR4ggZc,. (1 April 2011).

Satjipto Rahardjo, 2003, “ Peninjauan Hukum dan Cacat Undang-undang, dalam Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo,1995, “Mengenal Hukum: Suatu Pengantar Liberty”, Yogyakarta.

Sutiyoso Bambang, 2006, “Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan”, UII Press, Yogyakarta.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Utrecht, 1983 “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, direvisi oleh Muh. Saleh Djindang, Cet. XI, PT. Ichtiar baru: Jakarta.

Wheare K.C, 2005, “Konstitusi-konstitusi Modern”, Cet II, Judul asli Modern Constitution, diterjemahkan oleh Muhammad ardani, Eureka, Surabaya.

Wikipedia Indonesia, “ Mahkamh Konstitusi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Indonesia

ANALISIS IMPLEMENTASI PERDA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PROPINSI JAWA TIMUR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan publik yang ideal adalah serangkaian dari cita suatu tata pemerintahan yang baik (Good Govermance), jika didefinisikan Good Govermance itu sendiri adalah cita-cita yang menjadi visi penyelenggara negara diberbagi belahan bumi, termasuk indonesia. Secara sederhana Good Govermance dapat diartikan sebagai sebuah prinsip dalam mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya yang efesien, sistem pengendaliannya bisa diandalkan, dan administrasinya dapat bertanggung jawab pada publik.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan dari pelayanan publik ini pada umumnya adalah pegawai negeri sipil yang telah memenuhi syarat yang ditentukan serta diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya. Melihat dari pemaparan ini sungguh penting adanya pelayanan publik yang baik, dengan tujuan agar masyarakat dapat mempermudah dalam setiap urusan di dalam birokrasi pemerintahan. Tetapi dalam menciptakan suatu pelayanan publik yang ideal khususnya di Negara Indonesia sanagatlah sulit. Beberapa realitas yang terjadi dalam pelayanan publik di indonesai yang sering menimbulkan dari sisi pro dan kontra, dapat dilihat pada berita yang dikeluarkan oleh Surabaya Kompas yang mencatat. Di antara seluruh instansi pelayanan publik di Jawa Timur, Badan Pertanahan Nasional salah satu instansi yang dinilai sebagai instansi pelayanan publik terburuk. Di sana, masyarakat yang mengurus administrasi pertanahan harus melalui birokrasi yang panjang (berbelit-belit). Hal itu dikemukakan Gubernur Jatim Soekarwo, Kamis (15/10) di Surabaya. Anggota Komisi Pelayanan Publik Jatim, Wahyu Kuncoro, juga mengatakan hal serupa. Ungkapan beliau bahwa "Saya geregetan, selama ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) paling banyak mendapatkan keluhan dari masyarakat. BPN menduduki urutan pertama instansi pelayanan publik terburuk, disusul layanan pembuatan KTP dan layanan penyediaan air minum," ucapnya.
Berdasarkan beberapa kasus di atas, pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan, masyarakat yang masih banyak dibingungkan dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit, pungli, dan ketidaktahuan masyarakat tentang layanan publik. Hal ini yang mengakibatkan salah satunya adalah tindak pidana korupsi yang sering dilakukan oleh aparatur pelaksana payanana publik di pemerintahan. Dengan adanya catatan buruk yang diperoleh oleh Kantor Bandan Pertanahan Kota Surabaya mengenai palayanan publik hal ini wajib menjadi perkerjaan rumah (PR) bagi para pengambilan kebijakan khusunya di Provinsi Jawa Timur untuk merombak dalam rangka perbaikan jauh lebih baik kedepan.
Dalam kasus yang terjadi di Kota Surabaya ini khususnya mengenai iplementasi pelayanan publik yang dilakukan oleh apartur pemerintah Kota Surabaya sudah melakukan upaya-upaya dalam rangka menciptakan suatu pelayan publik baik dan ideal salah satunya dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Tentang Pelayanan Publik. Yang menjadi pertanyaan sekarang dimana terletak kesalahan sehingga adanya keluhan masyarakat Kota Surabaya mengenai pelayanan publik di Kota Surabaya. Sehingga dalam menyikapi pemasalahan yang dialami oleh pemerintah Kota Surabaya perlu adanya pembenahan dari segala sisi, baik dari sisi aturan, implentasi pelaksanaan dari aturan itu sendiri dan adanya upaya penegakan hukum yang secara tegas, agar kejadian serupa tidak terjadi dagi di Kota Surabaya. Dalam kesmpatan ini penulis mencoba untuk menganalisa mengenai pelaksanaan (implementasi) dari sisi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur mengenai pelayanan publik yang sudah dijadikan dokumen hukum dalam menciptakan pelayanan publik yang ideal.

B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah pemberlakuan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Tentang Pelayanan Publik dengan pelaksanaannya?

C. Hampiran Teoritik
1. Teori Tentang Pelayanan Publik
a. Pengertian Pelayanan Publik.
Pelayanan adalah satu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interkasi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisid dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Sedangkan pelayanan publik itu sendiri adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang -undangan. Pada hakekatnya pembangunan nasional suatu bangsa dilaksanakan oleh masyarakat bersama pemerintah, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membina serta menciptakan suasana kondusif yang menunjang kegiatan rakyatnya. Kegiatan masyarakat dan pemerintah tersebut harus saling mengisi, saling menunjang, dan saling melengkapi dalam suatu kesatuan langkah menuju tercapainya suatu tujuan pembangunan nasional suatu bangsa. Pemberian pelayanan umum oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat adalah merupakan perwujudan dari fungsi aparat negara, agar terciptanya suatu keseragaman pola dan langkah pelayanan umum oleh aparatur pemerintah perlu adanya suatu landasan yang bersifat umum dalam bentuk pedoman tata laksana pelayanan umum. Pedoman ini merupakan penjabaran dari hal - hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam prosedur operasionalisasi pelayanan umum yang diberikan oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah secara terbuka dan transparan.

b. Hakekat pelayanan publik :
1. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah di bidang pelayanan publik.
2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan publik dapat diselenggarakan lebih berdaya guna dan berhasil guna.
3. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakasa, dan peran serta masyarakat dalam derap langkah pembangunan serta dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

c. Asas Pelayanan Publik
Pelayanan Publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur-unsur dasar sebagai berikut :
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan publik harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitas.
3. Mutu proses dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hokum yang dapat dipertanggung jawabkan.
4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah terpaksa harus mahal, maka Instansi Pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya sesuai perundang-undangan yang berlaku.

2. Teori Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata “implementatiom”, berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut Webster’s Dictionary, kata to implement berasal dari bahasa Latin “implementum” dari asal kata “impere” dan “plere”. Kata “implore” dimaksudkan “to fill up”,”to fill in”, yang artinya mengisi penuh; melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to fill”, yaitu mengisi.
Dalam Webster’s Dictionary selanjutnya kata “to implement” dimaksudkan sebagai: “(1) to carry into effect; accomplish. (2) to provide with the means for carrying out into effect or fulfilling; to give practical effect to. (3) to provide or equip with implements”.
Pertama, to implement dimaksudkan “membawa ke suatu hasil (akibat); melengkapi dan menyelesaikan”. Kedua, to implement dimaksudkan “menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan sesuatu”. Ketiga, to implement dimaksudkan menyediakan atau melengkapi dengan alat”. Sehubungan dengan kata implementasi di atas, Pressman dan Wildavsky mengemukakan bahwa, ímplementation as to carry out, accomplish fulfill produce, complete”. Maksudnya: membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, melengkapi.
Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkasn sebagai suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.
Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.
Dengan demikian, dalam proses kebijakan publik implementasi kebijakan merupakan tahapan yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat reoritis. Anderson mengemukakan bahwa: ”policy implementation is the application of the policy by the government’s administrative machinery to the problem”. emudian Edward III mengemukakakan bahwa:”Policy implementation,is the stage of policy making between the establishment of a polic and the consequences of the policy for the people whom it affects”. Sedangkan Grindle mengemukakan bahwa: “implementation a general process of administrative action that can be investigated at specific program level”.
Dari uraian di atas diperoleh suatu gambaran bahwa, implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika yang top-down, maksudnya menurunkan/menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro. Sedangkan formulasi kebijakan mengandung logika botton up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan kebutuhan publik atau pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan pencarian dan pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk ditetapkan.
3. Model Implementasi Kebijakan
Menurut Sabatier terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom up dapat dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan. Dalam hal ini juga Grindle memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
Dikemukakan T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Dalam hal tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau program secara garis besar dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.

Gambar 01
Model Linier Implementasi Kebijakan
(dikutip dari Baedhowi, hal 46-48)











Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif. Pada model linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

4. Dasar-dasar Dalam Proses Legislasi
Istilah Legislasi berasal dari bahasa inggris (legislation), dalam khasana ilmu hukum, ligislasi mengandung makna dikotomis yang memiliki makna proses pembentukan hukum atau produk hukum. Legislasi dapat juga dimknai dengan arti sebagai proses pembuatan Undang-undang.
Negara Perancis, Fungsi legislasi merupakan bidang kekuasaan legislatif yang dibedakan secara tugas dengan kekuasaan eksekutif. Wewenang pembuatan Undang-undang dipegang oleh parlemen sebagai konsekwensi kekuasaan legislative. Apabila terjadi perbedaan antara statute dan regulasi maka Mahkama Konstitusi dan Dewan Pertimbangan Agung memiliki wewenang untuk menyelesaikan konflik norma tersebut.
Legislasi juga sebagai dasar dalam melahirkan hukum positif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu yang berintraksi dalam proses legislasi tersebut, secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu Negara dapat ditelaah secara dikotomis, yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi politik otoriter. Jika konfigurasi politik yang dianut oleh Negara demokrasi, maka dalam proses legislasinya akan demokratis karena konfigurasinya tersebut akan memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Sedangkan konfigurasi yang dianut oleh Negara otoriter, maka peranan dan partisipasi masyarakat maka dalam proses legislasi relatif kecil karena proses legislasi identik dengan intervensi politik.
Secara esensial legislasi terdiri dari atas dua golongan besar yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis berlangsung proses-proses untuk mematahkan suatu gagasan, isu dan/atau masalah yang selanjutnya akan dibawah kedalam agenda yuridis. Apabila gagasan tersebut berhasil dilajutkan, maka bentuk isinya mengalami perubahan yakni makin dipertajam dibandingkan pada saat muncul. Pada titik ini, proses legislasi akan dilanjutkan kedalam tahap yuridis yang merupakan pekerjaan yang benar-benar menyangkut suatu peraturan hukum yang sesungguhnya.

5. Teori Transparansi Pelayanan Publik
Transparansi dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik adalah terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti . Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima kebutuhan pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan Jadi secara konseptual, transparansi dalam penyelenggaraan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan.
Di lapangan Indonesia, penyelenggaraan pelayanan publik secara umum didasarkan pada filosofi dari UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004. Khusus untuk kebijakan transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dijabarkan dalam Kep. Menpan RI No. KEP/26/ M.PAN/2/2004. Maksud ditetapkan Keputusan tersebut adalah sebagai acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas transparansi pelayanan yang meliputi pelaksanaan prosedur, persyaratan teknis dan administratif, biaya, waktu, akta/janji, motto pelayanan, lokasi, standar pelayan an, informasi, serta pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan bagi seluruh penyeleng gara pelayanan publik dalam melaksanakan pelayanan publik agar berkualitas dan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Transparansi penyelenggaraan pelayanan publik adalah pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuh kan informasi. Transparansi dibangun dalam suasana adanya aliran informasi yang bebas. Dalam suasana ini, proses, institusi, dan informasi dapat secara langsung di akses oleh mereka yang berkepentingan. Di samping itu, juga tersedia cukup informasi untuk memahami dan memonitor ketiga hal itu . Menurut Riswandha transparansi adalah rakyat paham akan keseluruhan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Jadi, transparansi itu berarti bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Transparansi mensyaratkan bahwa pelaksana pelayanan publik memiliki pengetahuan tentang permasalahan dan informasi yang relevan dengan yang kegiatan pelayanan. Dalam konteks transparansi pelaksana pelayanan publik, pelaksana harus terbuka pada setiap tindakannya dan siap menerima kritikan maupun masukan, terutama yang dapat dari masyarakat adalah merupakan kebutuhan utama adar agar aparatur memahami aspirasi riil masyarakat.

6. Teknik dan Asas Pembuatan Perda yang baik
Pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk perda pada dasaranya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, sehinggga diperlukan suatu orang yang memeiliki kapasistas tertentu (kapasitas dibidang ilmu dan ahli dibidang teknis perancangan) dalam suatu studi ilmu dan teori perundangn-undangan, paling tidak ada 4 syarat bagi peraturan perundang-uandangan termasuk perda yang baik yaitu: yuridis, sosiologis, filosofis, dan tekni perancangan peraturan perundang-undangan yang baik:
a. Landasan fundamental
Uraian yang memuat tentang pemikiran terdalam yang harus terkandangn dalam peraturan perundang-undangan dan pandangan hidup yang mengarahkan pembuatan peraturan perundang-undangan. Pemikiran terdalam dan padnangan hidup yang harus tercermin dalam peraturan perundang-undangan adalah nilai-nilai proklasmasi pancasila.
b. Landasan Yuridis
Uraian tentang ketentuan hukum yang menjadi acuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis meliputi:
1. Yuridis formal yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang merujuk atau memberi kewenangan kepada lembagai/organ atau lingkungan jabatan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan.
2. Yuridis materiil yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan isi dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk.
c. Landasan Sosiologis
Bahwa perda harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian perda yang dibentuk dapat diterima masyarakat, memeiliki daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusi/penegakan hokum dalam pelaksanaannya.
Adapun teknik pembuatan perancangan peraturan perundang-undangan itu harus memenuhi ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum, ketepatan dalam gramatikal, ketapatan dalam menggunakan huruf dan tanda baca. Selain keempat syarat tersebut pembutan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan asas-asas formal dan material sebagai ketentuan oleh Van Der Vlies yang dikutip A. Hamid Attamimi dan Bagirmanan:
1. Asas-asas formal mengikuti asas tujuan yang jelas, asas organ/lembaga yang tepat asas perlunya peraturan, asas dapat dilaksanakan, dan asas consensus;
2. Asas-asas material meliputi asas tentang terminology dan sistematika yang benar, asas tentang dapat dikenali, yang perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum dan asas pelaksanaan hukum sesuai individu.






















BAB II
PEMBAHASAN
A. Tanggapan Umum Terhadap Perda Pelayan Publik Propinsi Jawa Timur
Tujuan dibentuknya perda tetang Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur ini ada beberapa point (i) Mewujudkan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik di Propinsi Jawa Timur (ii) Mewujudkan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang baik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Provinsi Jawa Timur,(iii) Terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik secara maksimal, (iv) Mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai mekanisme yang berlaku. Hal ini sesuai dengan pasal 3 Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur . Keberadaan Perda ini sangat penting sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan publik yang ideal di Daerah Provinsi Jawa Timur, khususnya terkait dengan soal perijinan dan non perijinan yang berlaku diruanglingkup birokrasi Provinsi Jawa Timur.

1. Ruang Lingkup Perda
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi sudah tertuang dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1), huruf c, k, l, m, n Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada huruf c penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat huruf k memberikan pelayanan termasuk lintas kabupaten/kota, huruf l memberikan pelayana kependudukan, dan catatan sipil, huruf m memberikan pelayanan adminstrasi umum pemerintahan, huruf n memberikan pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Selain hal ini juga dalam ranah pelayanan yang daerah provinsi juga dapat dilihat dalam ketetuan pasal 16 ayat (1), dan (2) Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
“Ayat (1) Hubungan dalam pelayanan umum antra pemeritah dan pemerintahan daerah sebagaimana yang dimaksud pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: (a) kewenangan tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal. (b) mengalokasikan pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewejangan daerah dan (c) fasilitas pelaksanaan kerja sama antara pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum”.

Ayat (2) hubungan dalam bidang pelayanan umum atara pemerintahan daerah seabagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan (5). (a) pelayanan umum yang manjadi kewenagan daerah. (b) kerajasama antara pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum dan (c) pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.

Mengenai pasal di atas mengingat begitu banyaknya tugas daerah mengenai pelayan umum sangatlah perlu dibentuknya Perda Tentang Pelayan Publik Provinsi Jawa Timur, agar dapat terlaksananya pelayanan publik yang efektif dalam penylenggaraan di lapangan pada nantinya.















B. Pemberlakuan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Tentang Pelayanan Publik dengan pelaksanaannya
Setiap warga Negara tidak akan pernah bisa menghindari dari hubungan dengan birokrasi pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah adalah satu-satunya organisasi yang memiliki legitimasi untuk melaksanakan berbagai peraturan dan kebijakan menyangkut masyarakat secara luas dan warga Negara. Itulah sebabnya pelayanan pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah menuntut tanggung jawab secara moral yang tinggi dalam melaksanakan kewajiban dalam rangka menciptakan pelayanan publik yang baik. Namum sayangnya tanggung jawab moral dan tanggung jawab professional ini menjadi salah satu titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan publik di Negara Indonesia. Dalam artian sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dalama pelaksanaan pelayanan publik di lapangan. Padahal ketentuan-ketentuan secara legal formal sudah baik dan benar yang disusun dan disahkan oleh para pengambil kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk peraturan daerah.
Memang sangat tragis jika kita melihat pelayan publik yang dilakukan di Negara Indonesia tercinta kita ini, sering terdengar dimana-mana baik dimedia massa sampai media elektronik. Terdengarnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh instansi-instansi yang melakukan pelayanan publik. Mulai dari mempersulit masyarakat dengan alasan prosedur birokrasi dan praktik-praktik Korupsi Kolusi Dan Nepotisme (KKN).
Dari banyak contoh di lapangan, seringkali terlihat aparatur birokrasi yang melayani kepentingan publik masih belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Ketentuan bahwa birokrasi mempunyai kewajiban melayanai masyarakat menjadi terbalik sehingga bukan lagi birokrasi yang melayani masyarakat, tetapi justru masyarakat yang malayani birokrasi. Pentingnya suatu pelayan publik agar dapat mempermudah masyarakat secara luas dalam menlakukan suatu pengurusan dalam birokrasi pemerintahan. Sikap para birokrat yang tidak bersedia melayani masyarakat secara efesien, adil dan transparan itu terlihat hampir pada semua isntansi publik. Pendapat bahwa “bekerja dengan rajin ataupun malas tetap mendapatkan gaji yang sama perbulannya”.
Jika dipandang dari realitas yang terjadi dalam pelayanan publik di Indonesai sering menimbulkan dari sisi pro dan kontra, diberitakan oleh Surabaya Kompas diantara seluruh instansi pelayanan publik di Jawa Timur, Badan Pertanahan Nasional (BKN) salah satu instansi yang dinilai sebagai instansi pelayanan publik terburuk. di sana, masyarakat yang mengurus administrasi pertanahan harus melalui birokrasi yang panjang (berbelit-belit). Hal itu dikemukakan Gubernur Jatim di Surabaya. Anggota Komisi Pelayanan Publik Jatim, Wahyu Kuncoro, juga mengatakan hal serupa. Ungkapan beliau bahwa "Saya geregetan, selama ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) paling banyak mendapatkan keluhan dari masyarakat serta dipersulitnya masyarakat dalam mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) oleh para petugas.
Melihat hal ini dari catatan buruk yang dimiliki oleh bebera instansi yang berda di Jawa Timur, sehingga harus kita analisa secara mendalam terletak dimana kesalahan dalam birokrasi yang terjadi di Provinsi Jawa Timur ini. Jika ditinjau dari sisi yuridis Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah membuat sautu naskah hukum dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yakni Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur. Yang menjadi pertanyaan sekarang dari sisimanakah yang salah sehingga terjadinya catatan buruk terhadap pelayanan publik yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Melihat pemberitaan yang dikeluarkan oleh Kompas Surabaya yang dalam hal ini terkait instansi-instansi yang mempunyai catatan buruk serta dengan adanya laporan-laporan pihak masyarakat dengan adanya proses birokrasi yang berbelit-belit tidaklah menunjukkan pemenuan hak para penerima layanan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 Perda Provinsi Jawa Timur tentang Pelayanan Publik yang berbunyi “Penerima layanan publik mempunyai hak: (a) Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas-asas dan tujuan pelayanan publik serta sesuai standar pelayanan publik yang telah ditentukan. (b) Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang sistem, mekanisme dan prosedur dalam pelayanan publik. (c) Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik. (d) Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah. (e) Memperoleh kompensasi apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. (f) Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau Komisi Pelayanan Publik untuk mendapatkan penyelesaian. (g) Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku. (h) Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik.
Jika ditinjau dari pasal 7 Perda Provinsi Jawa Timur tentang Pelayanan Publik yang mengatur mengenai peran serta masyarakat yang berbunyi:

1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
“Berperanserta dalam merumuskan standar pelayanan publik;
Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawsan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Memberikan saran dan atau pendapat dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Menyampaikan informasi dan atau memperoleh informasi di bidang penyelenggaraan pelayanan publik”.


Melihat permasalahan yang terjadi mengenai pelaksanaan pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur yang tercatat sempat mendapatkan teguran langsung dari gubernur Provinsi Jawa Timur, akibat adanya tidak profesional para pelaksana pelayanan publik sehingga terjadi pro dan kontra antara pihak masyarakat dan pihak pemerintah daerah baik daerah Kabupaten maupun Kota. Merujuk pada pasal 7 ayat (1) dan (2) yang terterah di atas menurut penulis kurangnya pihak pelaksanan pelayanan publik kurang mengikutsertakan pihak masyarakat dalam rangka pelayanan publik menjadi mitra untuk dapat bekerjasama secara baik. Sehingga terjadinya suatu pro dan kontra mengenai pelayanan publik di instansi-instansi terkait. Meskinya Perda Provinsi Jawa Timur mengenai Pelayanan Publik setidaknya dapat memperhatikan kultur dalam kehidupan dalam masyarakat itu sendri agar kebutuhan dari peraturan tersebut dapat berjalan secara efektif. Jika kita merujuk pada asas pembuatan perda khusunya asas sosiologis bahwa perda harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian perda yang dibentuk dapat diterima masyarakat, memeiliki daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusi/penegakan hukum dalam pelaksanaannya.
Jika merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman , penegakan hukum ditentukan oleh tiga komponen yang terdiri atas komponen substansi hukum, struktur (pelaksana) hukum, dan budaya hukum masyarakat itu sendiri. Substansi hukum berarti norma-norma hukum (peraturan, keputusan) yang dihasilkan dari produk hukum. Substansi hukum adalah produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan maupun aturan yang mereka susun. Struktur hukum adalah kelembagan yang diciptakan system hukum yang memungkinkan pelayanan dan penegakan hukum. Struktur hukum menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Disini yang dibicarakan adalah siapa pelaksana dari hukum tersebut, semisal kepolisian, kejaksaan, hakim, birokrat pemerintahan dan penegak hukum lainnya. Budaya Hukum atau kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum itu sendiri. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum dalam pelaksanaannya. Merujuk pada pendapat Lawrence M. Friedman hal-hal inilah yang perlu dibenahi oleh Pihak Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam melaksanakan pelayanan publik di Propinsi Jawa Timur. Dengan cara menganalisa dari sumua sudut pandang baik dari tata pemerintahan sampai dengan kultur masyarat, hal yang paling penting menurut penulis bagaimana menimbulkan kesadaran hukum kepada semua pelaku hukum tidak hanya pada masyarakat saja melainkan juga kepada pihak pelaksana birokrasi harus mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Sehingga adanya suatu penghormatan terhadap hukum itu sendiri. Pada nantinya tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam melaksanakan penerapan hukum di masyarakat.
Selain itu juga dalam melaksanakan pelayanan publik yang perlu diingat transparansi sanagatlah diperlukan dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik adalah terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti . Jadi secara konseptual, transparansi dalam penyelenggaraan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan. Sangat disayangkan konsep transparansi dalam dalam dunia pelayanan publik secara realitas belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, seharusnya para pelaku (penyelenggara) pelayanan publik harus mengerti secara detail mengenai pentingnya transparansi dalam menjalankan birokrasi di suatu pemerintahan.
Penting juga untuk diingat dalam melaksanakan pelayanan publik bahwa Asas Pelayanan Publik tidak boleh dilupakan para pelaksana pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan Publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur-unsur dasar sebagai berikut :
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan publik harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitas.
3. Mutu proses dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hokum yang dapat dipertanggung jawabkan.
4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah terpaksa harus mahal, maka Instansi Pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Pentingnya mengingat hal di atas agar dapat terciptanya suatu aturan suatu keserasian dalam berjalannya suatu aturan di dalam kehidupan masyarakat, sehingga pada nantinya dapat terwujudnya suatu keseimbangan antara aturan hukum dan pelaksanaannya di dunia masyarakat, dan juga tidak terjadinya lagi suatu penyimpangan-penyimpangan yang dilakuakan oleh para birokrat. Dengan adanya dasar-dasar asas pelayanan publik yang terpaparkan di atas diharapkan para birokrat juga dat mengetahui porsi-porsi dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan masyarakat.

 Strategi Alternatif
Strategi yang harus diambil terkait dengan persoalan pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur melihat secara substansi yang terkandung dalam perda tersebut, khususnya pada pasal 2 angaka 5, 9 dan 10 yang sudah memuat mengenai asas kepentingan umum, asas efesiensi dan asas efektifitas belum mencapai suatu tujuan dalam perda tersebut, tujuan itu sendiri yang tertuang dalam pasal 3 tetang tujuan pelayanan publik.
Namun ada beberapa strategi alternatif yang dapat dipertimbangkan pada tingkat pelaksanaan pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur dalam hal ini untuk menciptakan efektifitas pelaksanaan dari Perda Provinsi Jawa Timur tetang Pelayanan Publik ini perlunya suatu kerja sama pada semua sektor “khususnya” baik pihak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, dengan adanya kordinasi dalam memberikan pelayanan publik yang ideal kiranya pada nantinya dapat menciptakan suatu pelayanan publik yang ideal dalam pelaksanaannya.
Perlu dicatat bahwa dalam keseluruhan strategi alternatif ini harus dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan dan perlunya pengontrolan dari pihak-pihak terkait untuk dapat mencapai hasil yang terbaik






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam hal Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang diakibatkan oleh kurangnya kesadaran para birokrat dalam menjalankan tugas secara profesional, selain itu juga kurangnya pengawas dari pihak pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan publik yang terjadi di Jawa Timur, serta tidak adanya tindakan tegas dari pihak pemerintah dalam meberikan peringatan kepada instansi-isntansi yang melakukan kesalahan mengenai pelayanan publik, sehingga perlu adanya suatu ketegasan dalam mengimplementasikan perda tentang pelayanan publik provinsi Jawa-Timur sehingga terjadinya kerisis dalam pelaksanaan pelayanan publik yang ideal dilakukan oleh para pelaksana birokrasi.

B. Saran
Saran dalam tulisan ini, perlu adanya suatu peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Provinsi Jawa Timur khusunya dengan instansi-instansi di Provinsi Jawa Timur, serta perlunya tindakan tegas diberikan bagi isntansi-instansi yang diaggap telah melakukan kelalainan dan kesalahan dalam pelaksanaan pelayanan publik.


Daftar Pustaka


Bagirmanan, 1992 “Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia” ,Jakarta , Ind-Hill-Co.

Baedhowi, 2004, “Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan: Studi Kasus di Kabupaten Kendal dan Kota Surakarta, dalam Disertasi Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.

Dwiyanto Agus, 2008 “Mewujudkan Good Gorvernance Melalui Pelayanan Publik”, Cetakan Ke Tiga, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

Fahmal Muin, 2006 “Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih”, Yogyakarta: UII Press.

Farida Indrati Maria, 2007,“Ilmu  Perundang-Undangan”, Jogyakarta Kanisius.

Hidayat Ahmad, 2010, dalam artikel, “Transparansi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik”, Jakarta, PT. Refika Adimata.

Handry, 2009 “Teori Implementasi Pelayanan Publik”, http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/03/teori-implementasi-kebijakan-publik.html.  

Media Kompas Surabaya Dapat Diakses Melalui www.Kompas .com.

Muchlis dan Hamdi. 2001 “Good Governance dan Kebijakan Otonomi Daerah”, dalam Jurnal Otonomi Daerah 2001.

Pandji, 2009, “Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance”, Cetakan  Ke Dua, Bandung PT. Refika Adimata.

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.

Redaksi Explore Indonesia, 2008,Menyonsong Pelaksanaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)”, http://www.explore-indo.com/layanan-publik/48-layanan-publik/174-pelayanan-publik-bagian-1.html.


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan  Daerah
Winarsih,dan Ratminto, 2005, “Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual”, Penerapan Citizen’s Charter, dan Standar Pelayanan Minimal”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme