Oleh: Arming, S.H
Mahasiswa Hukum Pasca Sarjana UB Malang Ja-Tim
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah berdirinya Mahakamah Konstitusi (MK) diawali dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu.
Selain itu kewajiban dan wewenang MK menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah: Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. Selain itu juga dibentuknya lembaga ini yakni tidak lain dan tidak bukan mempunyai suatu tugas yang cukup berat dalam Negara Indonesia salah satunya menjaga konstitusi Negara Republik Indonesia.
Mebicarakan mengenai penafsiran dalam hukum yang terjadi di Negara Indonesia sering sekali dugunakan khususnya oleh para hakim-hakim yang berda di Mahkamah Konstitusi. Hal yang sangat menarik memang membicarakan mengenai penafsiran dalam dunia hukum dapat dilihat dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan yang belum diatur dalam perundang-undangan ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap. Bahkan seperti dikemukakan Sudikno Mertokusumo, bahwa tidak ada hukum atau Undang-Undang (UU) yang lengkap selengkap-lengkapnyanya atau jelas dengan sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu kalau UU-nya tidak jelas atau tidak lengkap harus dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan hukumnya.
Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).
Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode me mahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya. Dalam hubungan ini Gadamer mengatakan, seperti dikutip oleh Arief Sidharta, Ilmu Hukum adalah sebuah eksamplar Hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkan Ilmu Hukum ketika mengha dapi kasus hukum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga ter hadap kenyataan yang menyebabkan munculnya masa lah hukum itu sendiri. Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat per bedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan inter pretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang berbeda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pan dangan penafsir sendiri. Kedua pandangan itu kemudian diramu dengan berbagai aspek yang dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.
Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manu siawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks hukum yang dihasilkan olehnya. Gregory Leyh mengatakan hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum di dalam kerangka hermeneutika pada umumnya.
Dalam hubungan dengan penafsiran atau interpretasi, Alexander Peezenick menyatakan, “statementsare partly a result of the author’s philosophical back ground, partly a useful tool for political debate”. Pandangan konvesional dalam penafsiran undang-undang menganggap bahwa pengadilan harus berupaya menemukan tujuan atau maksud dari pembuat undang-undang (the framers’ intent). Penafsiran demikian sejalan dengan pandangan bahwa proses pembentukan undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai-nilai diantara berbagai kelompok kepentingan. Bagi pembentuk undang-undang, kesepakatan adalah produk tawar menawar (political bargain). Metode serupa juga digunakan dalam penafsiran perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan maksud pembentuk undang-undang, bagaimanapun, lebih sulit ketimbang menemukan maksud yang melatarbelakangi kontrak-kontrak perdata, sebab badan pembuat undang memiliki ciri kemajemukan. Pernyataan-pernyataan pribadianggota badan pembentuk undang-undang, tidak bisa otomatis dianggap pengungkapan pandangan mayoritas yang paling mempengaruhi suatu undang-undang.
Penafsiran konstitusi, di Jerman misalnya, menurut Leibholz, Mahkamah Konstitusi Jerman adalah mahkamah yang bebas, membantu dengan memberikan jaminan kebebasan bagi pengadilan dan menjalankan fungsi administrasi hukum dalam pengertian materil. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi Jerman disebut hukum yang sesungguhnya (real law). Keputusan-keputusannya merupakan putusan yang murni bersifat hukum, di mana hakim-hakim tidak melakukan penemuan-penemuan di luar batas substansi hukum dasar, melainkan mengungkapkan makna esensi hukum sebagai suatu pendirian atau sikap. Hukum konstitusi tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkamah Konstitusi disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-perubahan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisialnya. Pentingnya menafsirkan konstitusi dalam hal ini, kita mengetahui bahwa lmu hukum kontemporer sebenarnya telah membawa dalam dirinya sendiri kelemahan-kelemahaan yang bersifat bawaan. Kegiatan interpretasi atau penafsiran, merupakan akitivitas yang inheren terdapat dalam keseluruhan sistem bekerjanya hukum dan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya sejak zaman dahulu sampai sekarang, ilmu hukum belum juga berusaha memberikan tempat yang khusus kepada kegiatan interpretasi itu sebagai pusat perhatian yang utama. Dalam hal ini bagaimanapun juga, ilmu hukum itu berkaitan dengan soal kata-kata, sehingga aktivitas tafsir-menafsir menjadi sesuatu yang sangat sentral di dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Dalam pemaparan yang telah terterah di atas dalam tulisan ini akan di jadikan permasalahan adalah:
Seberapa besar pengaruh penafsiran hukum konstitusi dalam ranah perdilan Mahkamah Konstitusi ?
C. Hampiran Teoritik
1. Pengertian dan landasan penafsiran hukum
a. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Pandangan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.
b. Landasan penafsiran hukum
Setiap peraturan perundang-undangan bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sifatnya umum, dan pasif karena tidak menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret. Peraturan yang bersifat abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif. Oleh karena itu, setiap ketentuan perundang-undangan perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Bahkan teks undang-undang itu tidak pernah jelas dan selalu membutuhkan penafsiran. Hal ini pernah disebutkan oleh Achmad Ali:
“Barang siapa yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya yang menyatakan demikian, sudah melakukan interpretasi sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil interpretasinya terhadap teks tersebut”
Apa yang dikatakan oleh Achmad Ali senada dengan yang disebutkan oleh A. Pitlo, bahwa “kata-kata apapun tak pernah jelas. Ia selalu membutuhkan penafsiran.” Hal ini membantah pandangan lama yang menyebutkan In claris non est interpretation (aturan-aturan yang jelas tidak membutuhkan penafsiran).
Adanya pandangan In claris non est interpretation atau aturan-aturan yang jelas tidak membutuhkan penafsiran itu lahir dari sistem hukum eropa kontinental (civil law) yang mengutamakan keberadaan undang-undang sebagai fondasi utama dalam berhukum.
Dalam doktrin Trias Politica Montesquieu, kekuasaan negara itu dipisah menjadi 3 bagian utama, yaitu legislatif sebagai pembuat undang-undang yang berasal dari kedaulatan rakyat; eksekutif yang menjalankan undang-undang; dan yudikatif sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bernegara dengan menkonkretkan hukum tertulis. Hakim hanya perperan sebagai cerobong undang-undang.
Disamping itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang Undang Dasar. Seperti dikemukakan oleh K.C. Wheare, undang-undang dasar dapat diubah melalui: (i) formal amandemend, (ii) judicial interpretation, dan (iii) constitutional usage and conventions.
Pentingnya penafsiran hukum dalam ilmu hukum dan dampaknya yang dapat bersifat luas karena dapat menjadi sarana pengubah, penambah, atau pengurang makna konstitusi, mengharuskan penafsiran hukum dilakukan secara bijaksana dan mempertimbangkan berbagai faktor baik di dalam maupun dari luar hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, bila kita akan melakukan penafsiran hukum (tertulis) maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah meneliti apa niat (intensi) dari penyusunnya. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Jaksa Agung Amerika Serikat pada masa Ronald Reagan, Edwin Meese III, bahwa “satu-satunya cara pengadilan untuk menafsirkan konstitusi agar legitimate adalah mengikuti intensi (niat) yang asli dari penyusun dan meratifikasinya.
Jadi tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila peraturan perundang-undangan tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain apabila peraturan perundang-undangannya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat membuat keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum. Atas dasar itulah, menafsirkan peraturan perundang-undangan adalah kewajiban hukum dari hakim.
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk kepada pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundang-undangan, hakim harus mencarinya dalam kata-kata tersebut. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Menurut Polak, cara penafsiran ditentukan oleh: a. Materi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan; b. Tempat perkara diajukan; dan c. Menurut zamannya.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus (konflik) dan peraturan-peraturan hukum. Yang dimaksud penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Namun penafsiran hukum oleh hakim mendapatkan posisi yang paling penting dalam hukum karena memiliki karakteristik yang mengikat.
Secara doktrinal atau ajaran para ahli hukum, kewenangan hakim untuk melakukan penafsiran hukum dapat ditelusuri dari pendapat Paul Scholten dan Rescoe Pound. Scholten menyatakan bahwa: “hukum memang ada di dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan.” Hal ini menunjukkan bahwa maksud dari suatu undang-undang itu tidak hanya dapat dipahami lewat membaca teks undang-undang saja, tetapi juga perlu ada pemaknaan atau pemberian makna dari teks yang tertulis. Sedangkan Pound menyebutkan “Law is a tool of social engineering.” Ungkapan Pound tersebut mengkonstruksikan hukum berperan sebagai alat rekayasa sosial. Bahkan lebih dari itu, justru dipundak hukum juga mempunyai misi agar sektor hukum tersebut dapat secara aktif memodernisasi masyarakat. Hukum (law) yang dimaksud oleh Pound di atas bukanlah berarti undang-undang, melainkan keputusan hakim. Ajaran yang digagas oleh Rescoe Pound, yang menekankan pentingnya peranan pengadilan dalam merubah masyarakat itu disebut ajaran atau mazhab realisme hukum. Realisme hukum kemudian mempengaruhi pemikiran hukum modern yang erkembang di Amerika dan Skandinavia. Realisme hukum pada dasarnya meninggalkan pembicaraan mengenai hukum yang abstrak dan melibatkan hukum kepada pekerjaan praktis untuk menyelesaikan problem-problem dalam masyarakat. Bahkan lebih lanjut pandangan seperti ini dapat sampai pada mazhab hukum bebas (Freirechtslehre) di mana hakim bebas melakukan penafsiran hukum.
c. Penafsiran Hukum pada umumnya
1. Penafsiran hukum menurut Utrecht
Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode penafsiran, yang paling sering ditemui adalah metode-metode yang dikemukakan Utrecht, penafsiran undang-undang dapat dilakukan dengan 5 (lima) metode penafsiran, yang terdiri dari:
a. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
Penafsiran yang menekankan kepada arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). Utrecht memberikan penjelasan tentang penafsiran menurut kata atau istilah (taalkundige interpretasi) ini, yaitu kewajiban dari hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut Utrecht, merupakan penafsiran pertama yang ditempuh atau usaha permulaan untuk menafsirkan. Penafsiran yang demikian ini sama dengan penafsiran gramatikal yang melakukan penafsiran berdasarkan bahasa.
b. Penafsiran historis (historische interpretatie)
Metode penafsiran dengan sejarah hukum menurut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang dan (ii) penafsiran sejarah hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran sejarah hukum yang bertujuan mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. Dalam arti sempit, yaitu penafsiran sejarah undang-undang adalah penafsiran yang ditarik dari risalah-risalah sidang dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pembahasan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada bagian ini diuraikan mengenai metode penafsiran historis dalam arti luas. Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan makna historis suatu pengertian normatif dalam undang-undang, penafsiran juga harus merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau. Termasuk pula merujuk kepada hukum-hukum masa lalu yang relevan. Menurut Utrecht, penafsiran dengan cara demikian dilakukan dengan cara menafsirkan suatu naskah menurut sejarah hukum (rechtisstorische interpretatie). Penafsiran historis demikian itu dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah dari sistem hukum yang pernah berlaku, termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih diberlakukan di negara lain.
c. Penafsiran sistematis
Metode ini menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum (systematische interpretatie, dogmatische interpretatie) itu sendiri. Artinya menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dari suatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan. Dalam penafsiran ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem.
d. Penafsiran sosiologis/teleologis
Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. contohnya pada kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Metode penafsiran teleologis memusatkan perhatian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what does the articles would like to achieve). Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah hhukum menurut tujuan atau jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan aktual.
e. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)
Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie) menurut Utrecht, merupakan penafsiran sesuai dengan tafsiran yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri. Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.
d. Penafsiran lainnya
Disamping kelima metode di atas, para ahli hukum juga banyak menyebutkan metode penafsiran hukum lainnya. Metode yang dimaksud adalah yang dikemukakan oleh Visser’t Hoft, Sudikno Mertokusumo sebagai berikut:
1. Penafsiran Subsumptif
2. Penafsiran Komparatif
3. Penafsiran Antisipatif/Futuristis
4. Penafsiran Restriktif
5. Penafsiran Ekstensif
6. Penafsiran Interdisipliner
7. Penafsiran Multidisipliner
8. Penafsiran Dalam Kontrak atau Perjanjian
9. Penafsiran Evolutif-Dinamis
10. Creative Interpretation
11. Artistic Interpretation
12. Social Interpretation
13. Constructive Interpretation
14. Literal Interpretation
15. Conversational Interpretation
16. Teori Penafsiran Sosio-historis
17. Teori Penafsiran Filosofis
18. Teori Penafsiran Holistik
19. Teori Penafsiran Holistik Tematis-sistematis
2. Konstitusi
a. Pengertian
Istilah “konstitusi” dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti membentuk. M. Solly Lubis mengemukakan Istilah “konstitusi” berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara, atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.
Herman Heller membagi pengertian konstitusi itu ke dalam tiga pengertian yakni sebagai berikut:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche Wirklichkeit) dan belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan hukum.
2. Baru setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die Verselbstandgle Rechtsverfassung). Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut dengan istilah abstraksi.
3. Kemudian orang mulai menuliskan dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita menghubungkan pengertian konstitusi tersebut dengan pengertian Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar itu hanyalah merupakan sebagian dari pengertian konstitusi itu sendiri. Dengan perkataan lain, konstitusi itu (die geschriebene verfassung), menurut beberapa para sarjana merupakan sebagian dari konstitusi dalam pengertian umum.
F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuasaaan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut di antaranya: raja, parlemen, kabinet, pressure groups, partai politik, dan lain-lain; itulah sesungguhnya konstitusi.
2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (Eine Gesammtentscheidung über Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Sedangkan James Bryce mengartikan konstitusi adalah “A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized functions and definite rights”.
Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan:
1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen;
2. Fungsi dari alat-alat kelengkapan;
3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Kemudian C.F Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut “Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.”
Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:
1. Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas);
2. Hak-hak yang diperintah;
3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).
Menurut K.C. Wheare yang mengartikan konstitusi sebagai “Keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.” Peraturan di sini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (nonlegal). Sehingga, dari pengertian K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, disimpulkannya bahwa “konstitusi dalam dunia politik sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu: Pertama, dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai sistem pemerintahan di dalamnya terdapat campuran tata peraturan, baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan hukum (nonlegal atau extra legal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa dokumen” yang terkait satu sama lain.”
Namun, apapun bentuknya, suatu konstitusi sejati mencantumkan keterangan-keterangan jelas mengenai hal-hal berikut: Pertama, cara pengaturan berbagai jenis institusi; Kedua, jenis kekuasaan yang dipercayakan kepada institusi-institusi tersebut; dan Ketiga, dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Penafsiran Hukum Konstitusi Dalam Ranah Perdilan Mahkamah Konstitusi
Kehidupan hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system). Hal ini masih dapat dibuktikan sampai hari ini dengan masih digunakannya beberapa undang-undang yang menjadi “tulang punggung” hukum Indonesia modern, misalkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan pengadopsian dari Wet Boek Van Straftrechts di Negeri Belanda tempo dulu. Begitu juga dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek). Dalam sistem hukum civil law hukum dipandang hanya ada dalam peraturan perundang-undangan formil, peraturan perundang-undangan formil itu ada dalam undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Bahkan undang-undang yang dibuat oleh legislatif itu tidak dapat diganggu gugat karena ia merupakan hasil dari demokrasi melalui pembuatnya, yaitu legislator. Sehingga yang berhak untuk merubahnya hanyalah legislator itu sendiri.
Sebagai konsekuensi dari tidak dapat diganggu gugatnya undang-undang, maka peran hakim dalam civil law system hanya sebagai cerobong dari undang-undang (la bouche de la loi), hakim hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis. Namun Dalam perjalanan sejarah, bila dulu hakim disebut cerobongnya undang-undang, maka dalam hukum modern ada freiheid, kebebasan hakim. Jadi hakim boleh menerapkan dan boleh juga tidak menerapkan undang-undang (contra legem). Kemudian juga ada istilah rechtsverfijning atau pengkonkretan hukum.
Kebebasan hakim sebagaimana disebut di atas bahkan sampai kepada kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan yang dibuat oleh legislatif maupun eksekutif. Kewenangan hakim melalui Pengadilan atau Mahkamah sebut saja MK untuk menguji peraturan perundang-undangan (maupun undang-undang dasar) kemudian disebut judicial review¸ dan pengujian terhadap konstitusionalitas suatu norma hukum terhadap konstitusi disebut pengujian konstitusional (Constitutional Review).
Jika diistilahkan “konstitusi” dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti membentuk. M. Solly Lubis mengemukakan Istilah “konstitusi” berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara, atau menyusun dan menyatakan suatu Negara. Dalam hakl ini juga dikemukan konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (Eine Gesammtentscheidung über Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Sedangkan James Bryce mengartikan konstitusi adalah “A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institution with recognized functions and definite rights”.
Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisir dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan: Pertama, pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen, Kedua, fungsi dari alat-alat kelengkapan. Ketiga, hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, masalah kebutuhan untuk melakukan pengujian hukum (undang-undang) sudah cukup lama membara dalam pikiran kaum intelektual kita. Muhammad Yamin misalnya, dilaporkan ingin memasukkan pengujian hukum tersebut dalam Undang Undang Dasar. Tetapi, Soepomo menolaknya, dengan alasan, kita masih belum siap melakukan itu. Kita belum punya ahli untuk pekerjaan itu, kata arsitek Undang Undang Dasar 1945 itu.
Istilah pengujian konstitusional (Constitutional Review) berbeda dengan istilah judicial review. Pembedaan ini dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana Undang-Undang Dasar memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap Undang-Undang Dasar.
Berkenaan dengan hal tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian konstitusionalitas itu merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau lembaga mana saja, tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan yang diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu Negara. Seperti dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, ataupun oleh Mahkamah Agung dan badan-badan khusus lainnya. Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga peradilan, seperti dalam sistem Perancis, disebut Counseil Constitutionnel yang memang bukan court atau pengadilan sebagai lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi yang merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah judicial review, maka dengan sendirinya berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya adalah pengadilan atau lembaga yudisial (judiciary). Namun, dalam konsepsi judicial review cakupan pengertiannya sangat luas, tidak saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.
Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.
Dalam praktek sehari-hari maupun dalam lingkungan fakultas-fakultas hukum di tanah air kita, istilah-istilah toetsingrechts, judicial review, dan constitutional review memang sering dicampuradukan pengertiannya masing-masing. Istilah judicial review jelas tidak sama dengan constitutional review, dan berbeda pula dengan pengertian judicial preview seperti dalam sistem Perancis. Kalau berbicara mengenai hak atau kewenangan untuk menguji maka digunakan istilah hak untuk menguji atau hak uji, yang dalam bahasa Belandanya disebut toetsingsrecht. Jika hak uji diberikan pada hakim, maka namanya judicial review atau review oleh lembaga peradilan. Jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada lembaga legislatif, maka namanya legislative review, dan jika kewenangan itu diberikan pada eksekutif, maka namanya executive review.
Hak menguji (toetsingsrecht) terbagi atas dua macam, yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Hak menguji materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.
Sedangkan, hak uji formal ialah mengenai prosedur pembuatan undang-undang, dan hak uji material ialah mengenai kewenangan pembuat undang-undang dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara a posteori, maka pengujian itu dapat disebut sebagai judicial review. Akan tetapi, jika pengujian itu bersifat a priori, yaitu terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan judicial review, melainkan judicial preview. Jika ukuran pengujian itu dengan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka kegiatan pengujian itu dapat disebut sebagai constitutional review atau pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law). Namun, apabila norma yang diuji itu menggunakan undang-undang sebagai batu ujian, misalnya Mahkamah Agung menurut pasal 24A ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka pengujian semacam itu tidak dapat disebut sebagai constitutional review melainkan judicial review on the legality of regulation. Dengan demikian, harus dibedakan juga antara upaya pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dengan upaya pengujian legalitas (legal review). Di samping itu, harus dibedakan pula kualifikasi dari norma hukum yang diuji. Jika normanya bersifat umum dan abstrak (general and abstract), berarti norma yang diuji itu adalah produk regeling, dan hal ini termasuk wilayah kerja pengujian dalam konteks hukum tata negara. Akan tetapi, kalau norma hukum yang diuji itu bersifat konkrit dan individual, maka judicial review semacam itu termasuk lingkup peradilan tata usaha negara. Sehingga dalam konteks sistem constitutional review tercakup dua tugas pokok. Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem dalam demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan; Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.
Dari hal di atas ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh C.F Strong dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut “Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.”
Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:
1. Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas);
2. Hak-hak yang diperintah;
3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).
Sehingga secara esensial kita dapat memahami secara seksama bahwa begitu besarnya dan pengaruh penafsiran hukum terhadap konstitusi di Negara Republik Indonesia. Sehingga sampai sekarang tatanan pemerintahan di Negara Indonesia ini masih tetap berjalan pada porsi masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengaruh yang ditimbulkan cukuplah besar mengenai penafsiran hukum konstitusi dengan mengingat beberapa point penting: Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem dalam demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan; Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga Negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.
B. Saran
Dalam era modern seperti sekarang ini perlunya untuk menciptakan suatu langkah hukum yang baru dalam rangka mencapai suatu keadilan yang sebenar-benarnya, tidak hanya pada keadilan prosedural semata, melainkan keadilan subtansial juga. Sehingga perlu adanya pengembangan mengenai penafsiran hukum di Negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Achmad, 2002 “Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis”, Toko Gunung Agung: Jakarta.
Ananda R.M, 2005 “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita,” Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 3, Jakarta
Asshiddiqie Jimly, 2005, “Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara”, Konstitusi Press, Jakarta.
Farida Maria Indrawati Soeprapto, 1998 “ Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya”, Kanisius, Yogyakarta.
Fuady Munir, 2003, “Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hoft Ph. Visser’t, 2001 “Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding”, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Laboratorium FH Univ Parahiyangan: Bandung.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 Cetakan ketiga, Balai Pustaka.
M. Fauzan Ahmad Kamil dan, 2004, “Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi”, Kencana, Jakarta.
Mertokusumo Sudikno dan A. Pitlo, 1995 “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.
Ni’matul Huda dan Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, 2005, “Teori Dan Hukum Konstitusi”, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Riyanto Astim, 2000, “Teori Konstitusi”, YAPEMDO, Bandung.
Sahidin, 2009, “ Pentingnya Penafsiran Hukum”, Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2129234-hermeneutika-hukum/#ixzz1JKR4ggZc,. (1 April 2011).
Satjipto Rahardjo, 2003, “ Peninjauan Hukum dan Cacat Undang-undang, dalam Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo,1995, “Mengenal Hukum: Suatu Pengantar Liberty”, Yogyakarta.
Sutiyoso Bambang, 2006, “Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan”, UII Press, Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Utrecht, 1983 “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, direvisi oleh Muh. Saleh Djindang, Cet. XI, PT. Ichtiar baru: Jakarta.
Wheare K.C, 2005, “Konstitusi-konstitusi Modern”, Cet II, Judul asli Modern Constitution, diterjemahkan oleh Muhammad ardani, Eureka, Surabaya.
Wikipedia Indonesia, “ Mahkamh Konstitusi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Indonesia