RELEVANSI (MK,MA&KY)

Organisasi Mahkamah Konstitusi Yang Mempunyai Relevansi
Dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
OLEH:ARMING,S.H

Secara defakto Indonesia adalah Negara Hukum (rechtsstaat), dimana dalam sutau negara hukum harus mempunyai organisasi-organisasi (lembaga-lembaga) yang bertindak sebagai penegak hukum. Dimana tujuannya tidak lain agar dapat tercipta suatu negara yang aman dan damai dengan adanya lembaga-lembaga penegak hukum tersebut. Dan jika kita membicarakan tentang penegakan hukum kita tidak terlepas dengan yang namanya ”Kekuasan Kehakiman”dalam hal ini kekuasaan kehakiman sudah diatur secara jelas dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang mana ”khususnya” diatur dalam pasal 24 ayat (2) pada Perubahan Ke III, yang menyatakan” Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berda diwilayahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkama Konstitusi.” Ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945 sudah dapat mencerminkan kekuasan kehakiman tidak hanya berada di tangan Mahkamah Agung. Tetapi juga barada pada Mahkama Konstitusi. Artinya, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan dua pelaku kekuasaan kehakiman dalam rangka menegakkan Konstitusi di Indonesia, prinsip negara hukum, dan keadilan, adapun salah satu wewenangnya, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terkhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD di samping wewenang lain yang diatur dalam pasal 7A dan pasal 24C UUD RI 1945.
Degan dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Peradilan tingkat pertama dan terkhir, yang mana memperjelas kedudukan Mahkamah Kosntitusi tidak berada dibawah Mahkamah Agung. Yang mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD mengubah ketentuan dalam Tap.MPR Nomor III/MPR/2000 yamg memberikan kewenangan menguji undang-undang kepada MPR. Dengan adanya kewenangan ini mempunyai arti bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji keputusan yang dibuat oleh lembaga negara yang dinilai tidak sesuai dengan lembaga negara lainnya. Dalam hal Mahkama Konstitusi sebagai komponen konstitusi mempunyai status organisasi khusus yang berada dibawa kekuasaan kehakiman. Yang mana mempunyai arti khusus dimana organisasinya terpisah dari organisasi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Organisasi Mahkamah Konstitusi yang mana bersifat sederhana dan merupakan instrumen negara, bukan instrumen (pemerintah dalam arti sempit, yaitu presiden dan menteri), sehingga bersifat independrn atrinya dibentuk oleh hakim kostitusi. Realitas ini tercermin dengan adanya Pasal 24C ayat (4) yang menyebutkan bahwa ”Ketua dan Wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim Konstitusi”
Artinya, terpilihanya hakim itu yang 3 orang diusulkan oleh presiden, dan 3 orang di usulkan oleh Mahkamah Agung (Hakim Agung), serta 3 orangnya lagi diajukan DPR, jadi kontkertnya 9 orang tersebut menjadi Mahkamah dan dalam hal ini apabila sudah terpilih dan selanjutnya disahkan oleh presiden, Hakim Konstitusi melakukan rapat untuk pertama kalinya, yang mana bertujuan utuk memilih ketua dan wakil ketua sekertaris jendral Mahkamah Konstitusih, dalam hal ini juga pemilihan atas ketua dan wakil ketua dilakukan secara masyawarah mufakat dari seluruh hakim Mahkamah Kosntitusi. Lembaga Mahkamah dikarenakan belum mempunyai suatu aturan yang baku untuk memilih ketua dan wakil ketua dan juga belum mempunyai tatertib untuk mengatur pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi. Yang terjadi di Indonesia Rapat pertama yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitutsi yakni pada tanggal 19 Agustus 2003 yang mana dihadiri oleh delapan orang hakim Konstitusi (Laica Marzuki sedang sakit), terpilih Jimly Asshiddiqie sebagai ketua dan Laica Marzuki sebagai wakil ketua, dengan masa jabatan lima tahun (Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Sedang untuk jabatan sekertaris jendral yang dipilih oleh sembilan orang hakim konstitusi itu yang berasal dari luar hakim konstitusi terpilih A.A Oka Mahendra, kemudian diajukan kepada pemerintah untuk mendapatkan pengesahan dari presiden dalam bentuk kepres. Dan selanjutnya hakim-hakim konstitusi tersebut dilantik tepatnya pada tanggal 2 Januari 2004.
Mahkamah Konstitusi juga bersifat Independen, yang meliputi semua kegiatan hakim Mahkamah Konstitusi, baik dalam penyusunan anggaran rumah tangga yang dibebankan kepada APBN namaun administrasi Mahkamah Konstitusi. Dalam memutus perkara, Hakim Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta dengan mempertimbangkan alat bukti dan keyakinan hakim yang didasarkan alat bukti serta yang diambil secara musyawara untuk mufakat dalam sidang pleno hakim. Jika musyawara secara mufakat tidak tercapai, putusan diambil dengan suara terbanyak, dan jika dengan putusan suara terbanyak tidak tercapai, suara terkhir pada ketua sidang pleno hakim Mahkamah Konstitisi yang menentukan (Pasal 45 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Kedudukan Protokoler). Menurut undang-undang yang berlaku ini juga mengtur bahawa mahkama konstitusi harus dimuat dalam Lembaran Negara sebab berasal dari APBN sama halnya sepeti sebutan undang-undang, peraturan pemerintah, harus dimuat Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Nerara. Artinya dengan dimuat dalam Lembaran Nergara maka Anggara Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan mengikat dana kekutan yang berlaku. Melihat ini semua seperti apa yang terjadi dinegara Jerman dan Afrika Selatan dimana tiap penyusunan anggaran Mahkamah Konstitusi harus dimuat dalam Lembaran Undang-undang Federal.
Di Negara Indonesia Mahkamah Konstitusi merupakan organ (komponen) Konstitusi, maka dalam hal ini Mahkamah Konstitusi mempunyai drajat yang sama dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Yang mana ia bukan berada deibawah sebuah kementrian (Menteri Kehakiman) sehingga Mahkamah Konstitusi dapat berhubungan langsung dengan organ (lembaga) tinggi lainnya tanpa melalui izin dari presiden yang sebagai kepala Negara dan sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Karena itu Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa dan berhubungan langsung kepada semua lembaga tinggi negara tanpa melalui birokrasi atau aturan protokoler.
Mahkama Konstitusi bukan merupak suatu instrumen politik sehingga ia adalah satu-satunya yang dapat melakukan interpretasi/tafsiran terhadap Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sekaligus merupakan konsekuensi dihapuskannya penjelasan UUD 1945 yang mana selama ini sering diinterpretasikan oleh masing-masing pemerintahan yang berkuasa. Dan juga lembaga lainnya dilarang untuk melakkan interpretasi, apalagi yang dilakukan perorangan. Seperti halnya mengingat kasus yang terjadi pada Akbar Tandjung dimana ia seenaknya metafsirkan/menginterpretasikan atas asas bahkan praduga tidak bersalah terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Bahkan dalam hal ini ia lebih pandai mengajari para pakar hukum pidana itu sendiri, yang mana akhirnya dia diputus bebas oleh lima hakim agung yang bersidang pada tanggal 12 februari 2004 (4 hakim mengabulkan dan 1 hakim menolak kasasi). Dan juga dalam hal Mahkamah Konstitusi memutus sengketa atau perselisihan yang mana mengandung unsur politik, dapat dimisalkan dalam satu contoh ”Pemberhentian Presiden ditengah masa jabatannya (impeachment)” seperti yang telah diatu dalam pasal 7A impeachment itu harus dipersempit. Artinya, harus betul-betul mengandung unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 7A dan Pasal 24C, dengan tidak diperluasnya keunsur politik mengapa demikian, karena merupakan konsekuensi negara yang menganut sistem presidensil, di mana presiden tidak bisa dijatuhkan ditengah masa jabatannya dengan alasan politik. Dengan demikian pertimbangan dalam memutus suatu perkara yang dipakai oleh pihak hakim konstitusi adalah perlindungan hukum semta, yang mana hal ini hakim konstitusi berdasarkan fakra, alat bukti, dan keyakinan hakim yang didasarkan alat bukti dengan dasar hukum (Pasal 45 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003) walaupun dalam suatu kasus mengandung unsur politik, seperti halnya di Negara Jerman ada dua kamar hakim Mahkamah Konstitusi, yang mana kamar satu memeriksa yag berkaitan dengan persoalan sedangkan kamar yang kedua memeriksa yang berkaitan denagan persoalan politik, tetapi hakim juga harus menggunakan pertimbangan hukum dalam memeutus jenis perkara yang dihadapi.
Dalam hubungan dengan Komisi Yudisial yang mana sudah diatur jelas dalam (Pasal 24A dan Pasal 24B). Yang mana Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai hubungan tidaka langsung secara fungsional dalam proses pemilihan hakim agung yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, hubungan itu lebih tepat menggunakan istilah hubungan fungsional administratif. Hasil pemilihan calon hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial itu diajuakan DPR selnjutnya disahkan oleh presiden. Kemudian Hakim Agung yang berada di Mahkamah Agung itulah yang diusulkan oleh Mahmakamah Agung untuk menjadi Hakim Konstitusi yang mana berjumlah 3 orang dengan sebutan hakim-hakim profesional. Yang mana tidak lain untuk memberikan penegakan hukum di Indonesia. Dan juga diaturnya cara pengangkatan hakim agung oleh Komisi Yudisial (Pasal 24A dan 24B). Maka Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang telah di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, yang mana dilatarbelakangi terdapatnya didalam pasal itu pengangkatan hakim agung oleh presiden selaku kepala negara diambil dari didaftar calon hakim yang diajukan oleh DPR. Ddalam hal ini juga Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR yang mana sudah jelas diatur dalam (Pasal 24B ayat (3) ) melihat dari sini rumusan masalah yang ada ini khususnya pasal yang sudah tercantum diatas mempunyai atri memberikan kewenangan kepada presiden dalam menetapkan Komisi Yudisial yaqng didahului dengan proses penguasaan oleh DPR, dalam hal pengangkatan juga serta pemberhentian hakim agung, disampaikan menurut pasal 7 dan pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, proses yang berlaku ini tercatat tidak begitu jelas dan yang menjadi rancu hal ini tidak diatur dalam UUD RI 1945 sehinggap menimbulkan multitafsir yang berbeda diantara para ahli hukum yang berada di indonesia. Perubahan UUD RI 1954 hanya mensyaratkan bahwa Komisi Yudisial mengusulkan dari pihak DPR memberikan persetujuan dan presiden mengeluarkan penetapan pengangkatan atau pemberhentian pada para hakim. Namun seiring bergulirnya waktu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, pengaturan pengangkatan Komisi Yudisial telah mengakomodasikan isi pasal 24B dalam UUD RI 1945. melihat dari paparan ini disadari bahwa pengtingnya semua kegiatan kelembagaan negara harus dituangkan dalam UUD RI 1945, yang mana kita ketahui bahwa UUD 1945 ini menjadi dasar peraturan negara kita.
Melihat banyaknya lembaga-lembaga hukum yang terbentuk di negara Indonesai ini salah satunya Komisi Yudisial ini, perlu diketahui juga secara mendalam bahwa wewenang dari Komisi Yudisial ini adalah disamping mengusulkan pengangkatan hakim-hakim agung ke DPR, juga mempunyai wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta prilaku hakim yang mana sudah tertuang dalam (Pasal 24B), selain itu tugas dan wewengan lainnya akan diatur dalam bentuk Undang-Undang, dengan tujuan agar dapat terperincih lebih jelas. Menurut hemat saya alangkah baiknya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk menentukan alokasi anggaran untuk Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, bukan kepada lembaga itu sendiri karena komisi itu terlebih banyak tahu tentang jumlah alokasi dana yang sebaiknya diberikan kepada dua lembaga itu. Dapat dicontohkan seperti di Negara Swedia, Irlandia, Denmark, serta negara Italia. Diketahui juga adanya hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yakni mempunyai hubungan fungsional administratif dalam memilih calon hakim agung, dengan penjelasan dimana hakim agung harus diusulkan dari Komisi Yudisial ke DPR kemudian disahkan oleh presiden yang mempunya kewenagan (sebagai kepala negara), jika melihat dengan negara-negara lain yang diluar negara Indonesia, Untuk negara Eropa Selatan(Prancis, Italai, Spayol, dan Portugal) dan Eropa Utara (Swedia, Irlandia, dan Denmark). Komisi Yudisial disamping berfungsi untuk mengusulkan pengangkatan calon hakim, juga berfungsi untuk mengawasi disiplin para hakim dari tingkat atas sampai ketingkat bawah, serta mempunyai wewenang untuk menentukan anggaran keuangan lembaga pengadilan ke parlemen.
Didalam Undang-Undang No.22 Tahun 2004 wewenang Komisi Yudisial hanya sampai tataran pengusulan calon hakim agung ke pada pihak DPR, sedangkan pemberhetian hakim agung, lembaga Komisi Yudisial tidak mempunyai kewengangan, kecuali usulan pemberhentian. Dengan terlihat secara jelas bahwa sulitnya birokrasi pemerintahan di negara kita. Jika membicarakan tentang hakim Mahkamah Konstitusi secara universal setiap negara menghendaki kekuasaan kehakiman bersifat independen dan bebas dari Intervensi atas lembaga-lembaga lain, mengutip salah satu pasal di negara Jerman (Pasal 97 Ayat (1) Tentang Kehakiman yang mana berbunyi: The judges shall be Indevendent and subject only to the law (para hakim berkedudukan bebas dan hanya taat/patuh terhadap hukum/undang-undang yang berlaku, seharusnya sistem yang berada di Indonesia dapat dibentuk seperti ini agar terciptanya suatu kemandirian dalam hukum itu sendiri yang mana nantinya tidak mempunyai kepentingan lain atas golongan-golongan yang lain. Karena secara realitas yang terjadi dimana para hakim itu jika terikat dalam suatu lembaga yang kuat dalam suatu negara pasti mempunyai kepentingan-kepntingan yang dapat membuat cacatnya suatu hukum tersebut. Konkret pada saat hakim itu bisa berdiri sendri pasti dapat mengakkan hukum berdasarkan apa yang sudah diatur.
Agar dapat memperoleh hakim yang dapat menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya menjadi penting mengingat, Pada zaman Revolusi Prancis, dimana orang percaya agar seorang hakim dapat bertindak adil, dia harus mempunyai meteri yang dianggap bekecukupan (kaya) dalam kehidupannya sehingga pada akhirnya para hakim bayak berasal dari golongan orang yang berkecukupan. Setelah ajaran demokrasi bermunculan, kemudian hakim menekankan langsuang pilihan oleh rakyat. Ciri seperti ini conon masih dipraktekkan dibeberapa negara seperti Swis dan di negara bagian Amerika. Akan tetapi, ada juga dibeberapa negara, seperti negara Jerman, yang mana hakim dipilih oleh parlemen. Untuk hakim federal constitutional court, sebagian dari anggotanya dipilih oleh Bundestag (parlemen federal) dan sebagiannya lagi dipilih oleh Bundesrat (lembaga perwakilan negara-negara bagian). Selain itu di Amerika para calon hakim federal diajukan oleh presiden untuk disetujui oleh senat. Cara yang serupa yaitu pengangkatan oleh pemerintah bersama legislatif, dilakukan untuk pengangkatan hakim Pengadilan Tinggi Federal Jerman. Berbeda dengan di Eropa dimana hakim diangkat oleh pemerintah dan partisifasi lembaga legislatif dan yudikatif. Selanjuatnya para hakim ketua, dan wakil ketua dari badan-badan peradilan banding ditetapkan oleh seorang raja/pemerintah dari jumlah calon-calon ada dua kali lipat dari jumlah hakim yang diperlukan atau diajukan dan badan-badan pradilan, yaitu setengah jumlah calon yang diajukan oleh badan-badan pradilan banding dan setengahnya lagi diajukan oleh Mahkamah Kasasi yang mana diangkat oleh raja dari calon-calon yang diajukan oleh mahkamah itu sendiri dari senat. Membicarakan dari beberapa negara yang ada didunia yang berkaitan dengan hukum, Negara Inggris juga common wealth, dan kebanyakan di negara-negara Amerika Selatan serta negara Eropa Daratan para hakim diangkat oleh pemerintah melalui Komisi Yudisial. Dengan adanya beberapa paparan contoh yang ada diatas sudah jelas terdapat banyak perbedaan yang terjadi diantara negara Indonesia degnan negara-negara yang lian yang berada di dunia, dalam hal cara pemilihan hakim. Dimana menurut hemat saya dengan bagimanapun cara hakim itu dipilih, tidak berpengaruh asalkan para hakim-hakim yang telah terpilih dapat menjalankan tugas dengan baik dan benar dan juga menolak secara besar-besaran atas intervensi dari lembaga yang lain. Penegakan hukum yang sesungguhnya pada nantinya pasti akan dapat terwujud di dalam suatu negara itu sendiri.
Beberapa lembaga hakim yang kita kenal di Indonesia salah satunya Mahkamah konstitusi, dalam dinamika hukum yang sering menjadi pertanyaan kita bersama yakni komposisi hakim dalam memutus suatu perkara yakni dengang jalan seperti apa.? Dalam kesempatan ini sedikit mengutif dari beberapa buku yang saya baca dimana Komposisi Hakim Mahkamah Konsititusi menjadi sangat menentukan kualitas dari isi putusan dan wibawa mahkamah. Dimana unsur Hakim Konstitusi tercermin dari tiga lembaga itu dalam memutus suatu perkara yang dihadapi, maka Komposisi Hakim harus ditentukan berdasarkan. Yang pertama Pokok Sengketa, yang kedua Lembaga Negara yang wewenangnya di gugat dan yang terkahir jumlah hakim yang mengadili atau memerikasa dari perkara tersebut. Dimana ada salah satu contoh seperti di negara Jerman jumlah hakim yang memerikasa setiap kamar adalah enam orang (Pasal 15 ayat (2) BverfG) dan di Korea, minimal hakim yang hadai dalam suatu persidangan berjumlah tujuh orang yang mana telah diatur dalalam peraturan di negara itu khususnya (Pasal 16 ayat (2) cc). Sedangkan di negara kita sendiri (Indonesia) komposisi hakim dalam memutus suatu perkara sekurang-kurangnya yang hadir dalam suatu persidangan adalah tujuh orang yang mana talah diatur dalam (Pasal 5 Perma Nomor 02 Tahun 2002). Demikian juga jumlah usulan Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden. Menurut saya dalam penulisan artikel ini, Komposisi jumlah hakim itu harus pula di tentukan Komposisinya berdasarkan jeinis dan lembaga yang berengketa. Dengan alasan perlunya Komposisi hakim ditentukan dari jenis dan lembaga yang berperkara dengan alasan. Yang pertama Komposisi Pengankatan Hakim mengikuti pola negara Prancis, yang mana Dewan Konstitusi yang mana lebih bersifat preventif dan politis, yang kedua, hukum acara setidaknya mengikuti model yang ada di Korea, dan yang ketiga di ingat bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi merupakan organ (komponen) konstitusi UUD RI 1945, dan yang terakhir, Mahkamah Kosntitusi juga merupakan insturmen demokrasi, atau instrumen negara hukum, dan instrumen perlindungan hak asasi manusia, dimana pentingnya diterapkan ”check and balances” yang dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman.
Dalam pembahasan sebelumnya sudah dibahas dalam hal Komposisi hakim dalam memutus perkara, menjadi suatu permasalahan kecil apa bila kita tidak membahas tentang isi putusan yang berkaitan denangan implementasi eksekusi putusan. Diketahui bersama bahaw isi putusan menentukan bagaimana putusan itu dieksekusi, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi hampir semua negara hanya bersifat deklaratoir berupa menyatakan sah atu tidak sah seluruhnya atau sebagaian, batal (void and null), atau tidak batalnya sebagian atau seluruhnya. Pada kesempatan ini juga saya mencontohkan di negara Jerman putusan Mahkamah Konstitusi berlaku ”erga omnes” atau
”All Gemeinwikung” (berlaku pada siapa saja, selain itu berlaku retroaktif (berlaku surut) atau (ex-tunc). Jika dibandingkan dengan negara Indonesia sebelum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 diratifikasi (disahkan) wewenang Mahkamah Konstitusi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung yang pengaturannya dituru dalam bentuk Perma. Berdasarkan Pasal 2 sub 6 Perma Nomor 02 Tahun 2002, hak menguji Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD RI 1945 tidak bersifat rektroaktif dikarenakan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan atau permohonan bagi suatu Undang-Undang yang lama tidak terjadi obyek pemeriksaan Mahakamah Konstitusi, tetapi diserakan kepada pembut Undang-Undang untuk meninjau kembali. Beberapa sengketa yang dimuat dalam Pasal 24C UUD 1945 oleh perma Nomor 02 Tahun 2002 tidak tentang perbedaan jenis putusan dan eksekusi atas putusan. Jika perbuatan atua permohonan dinyatakan dalam putusan hakim tidak memenuhi syarat, berati gugatan atau permohonan itu tidaka dapat diterima, dan jika gugutan atau permohonan itu tidak diterima. Jika gugatan atau permohonan itu beralasan, gugatan atau permohonan itu dikabulkan, dan jika gugatan atau permohonan itu tidak beralasan, permohonan dinyatakan ditolak. Putusan Mahkamah Agung mempunyai kekuatan hukum tetap setelah diucapkan dipersidangan serta sejak diberitahukan kepada juru sita kepada para pihak, putusan itu wajib dikirim ke Sekertaris Negara selambat-lambatnya empat belas hari setelah putusan diucapkan. Tentang pelaksanaan eksekusi perma tidak mengaturnya. Dan samapai disahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Agung dalam menggunakan wewenangnya sebgai Mahkamah Konstitusi untuk memutus atau perkara atau permohonan tidak perna dilakukan.
Hal rgen yakni tentang ”Hakim Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kaitan dengan Pemberhentian Peresiden dan/atau wakil Presieden” dalam hal seperti jika hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan sutau pelanggaran hukum, dalam amaran putusan hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan ”membenarkan pendapat dari lembaga DPR”. Dan juga apa bila dalam hal ini jika tidak terbukti presiden dan /atau wakil presiden melakukan suatu pelanggaran hukum, amaran putusan menyatakan dari Mahkamah Konstitusi ”permohonan ditolak” dan putusan Mahkamah Konstitusi itu wajib disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden dan/atau wakil presiden, sedangkan pelaksanaan (eksekusi) pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden diserahkan kepada DPR untuk lebih lanjut memperosesnya melalui jalur yang mana sudah diatur dalam Pasal 7B ayat (5). Dan (6), dan ayat (7) UUD RI 1945, yaitu DPR mengadakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian itu kepada MPR. Lalu MPR wajib mengadakan sidang paling lambat 30 hari sejak menerima usulan DPR tersebut. MPR untuk mengambil keputusan untuk memberhentikan preseidan dan/atau wakil presiden dalam hal ini harus dihadiri oleh sekurang-kurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah terlebih dahulu presiden dan/atau wakil presiden diberikan kesempatan menyampaikan penjelasan atau pembelaan dalam rapat paripurna MPR itu. Sehingga dalam permasalahan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden semua diberikan kesempatan sehingga putusan yang ditimbulkan pada nantinya pihak-pihak yang terkait merasakan kepuasan. Dan juga pentingnya kita membahas ”Terhadap Putusan Mahkamah Konsitutsi” yang berkaitan dengan pemberhentian presiden dan wakil presiden permasalahan ini menimbulkan interpretasi/penafsiran. Pertama, putusan Mahkanah Konstitusi tersebut belum bersifat final karena masih akan dipertimbangkan oleh Majelsi Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kedua putusan Mahkamah Konstitusi sudah bersifat final karena putusan Mahkamah Konstitusi dalam lah ”impiachment”yang menyatakan presiden dan wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden dan wakil presiden, sebgai badan putusan pengadilan yang bersifat yuridis, hal ini tidak dapat diajuak banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK) dan putusan itu bukan untuk menjatuhakan atau memrintahkan pemberhentian presiden dan wakil presiden, melainkna hanya menyatakan terbukti atau tidaknya dugaan dari DPR itu sehingga putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat deklarasi semata. Mengutip dari salah beberapa pendapat yang dilontarkan oleh Handan Zulva, Andi Mattalatta, dan Sucipno, anggota PAH I MPR : putusan mahkamah konstitusi yang berkaitan dengan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus dilihat secara proporsiona, artinya jangan dikacaukan antara proses hukum dan poroses politik, proses hukum berjalan setelah dugaan DPR di perikasa, diadili, dan dputus oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan proses politik berjalan ketika hasil putusan Mahkamah Konstitusi itu di proses di MPR berkaitan dengan pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang mana jelas sudah diatur dalam Pasal 7A UUD RI 1945 belum bersifat final dan bukan persoalan mencampuradukkan antara persoalan politik dan persoalan hukum, melainkan putusan final yang diatur dalam pasal 24C UUD RI 1945 bukan ditujukan pada putusan yang diatur dalam pasal 7A UUD RI 1945, melainkan semata-mata hanya ditujukan pada isi Pasal 24C itu sendiri yang mana berkaitan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Pasal 7A berkenaan dengan pelaksanaan kewajibang Mahkamah Konstitusi yang ditugaskan oleh UUD RI 1945 atas pimpinan DPR.

UPAYA PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI HAK-HAK ANAK DARI PERLAKUAN KEKERASAN (VIOLATION) TERHADAP ORANG DEWASA

UPAYA PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI HAK-HAK ANAK DARI
PERLAKUAN KEKERASAN (VIOLATION) TERHADAP ORANG DEWASA
Oleh:
Arming,S.H
a. Latar Belakang
Secara de fakto negara Indonesia adalah negara hukum. Yang mana diketahiu konsep dari negara hukum (rechtsstaat) harus dipegang teguh dan memperjuangkan dari beberapa elemen yang terkandung didalamnya. Konsep negara hukum yang mana jelas sudah mengedepankan atas perlindungan Hak Asasi Manusia, yang mana termasuk dalam perlindungan atas Hak Anak. Itu sudah tampak dengan adanya beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan yang sudah di buat oleh pihak Pemerintah. Yang mana salah satunya UU RI No.23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak khususnya Pasal 4 yang berbunyi setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar dan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi . Selain itu juga dengan adanya Perjanjian Internasional tentang Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child). Yang mana telah disahkan oleh Majelis Umum PBB, pada tanggal 20 november 1989 .
b. Rumusan Masalah
Melihat dari paparan diatas, beberapa masalah yang timbul yang mana dianggap penting untuk dijadikan suatu permasalahan yakni, dalam persepektif hukum yang sudah diupayakan oleh pihak Pemerintah pada khususnya, belum bisa terealisasikan dengan baik di dalam masyarakat, bahkan di dalam bangsa ini, hal ini dapat kita lihat dari beberapa hal yang sering terjadi pada beberap anak di Negara Indonesia kita ini . Yakni salah satunya anak menjadi korban orang-orang dewasa dengan cara penindasan yang menggunakan kekerasan, yang sebenarnya tidak pantas seorang anak mengalami hal tersebut, permasalah ini terjadi dikarenakan dengan adanya penghambatan dari pada faktor-faktor, yang mana salah satunya faktor ekonomi yang terjadi di dalam suatu ruanglingkup keluarga. Sehingga berhujung pada tindakkan kekerasan yang dialami oleh seorang anak yang masih tegolong belum dewasa. Dengan adanya tindakan-tindakan yang seperti ini sudah menjadi keharusan dari semua pihak untuk dapat memperhatikan dan memberikan tindakan yang sepantasnya terhadap pelaku tindak kekerasan yang dialamai oleh setiap anak.
c. Pembahasan
Menurut hemat saya, melihat dari perumusan masalah yang terjadi pada anak, tidak dapat dipungkiri bahwa walaupun peraturan demi peraturan yang sudah diupayakan baik dilevel Nasional maupun Internasional yang dalam hal ini sudah memperhatikan dari pada hak-hak anak secara khusus. Tidaklah dapat melindungi hak-hak anak secara utuh dan baik, mengapa demikian, dikarenakan kurangnya perhatian dan kerja sama dari semua pihak baik dari pihak , masyarakat, pihak keamanan, dan pihak keluarga. Semestinya dari semua pihak yang terterah diatas haruslah mempunyai kesadaran yang tinggi dalam memperhatikan pentingnya melindungi hak-hak setiap anak. Berangkat dari peramsalahan yang sering terjadi pada anak khususnya, yang mana salah satunya anak dijadikan sasaran dari tindak kekerasan terhadap orang-orang dewasa. Dengan andanya perlakuan-perlakuan yang kurang wajar yang dialami anak-anak di negara Indonesia (tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak). Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara hukum (rechtsstaat) melakukan suatau upaya yang, yang mana Indonesia sebagai anggota PBB dan bagian dari masyarakat Internasional telah meratifikasi Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1990. Pratifikasian Konvesi Hak Anak itu dilakukan melalui Keputusan Persiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 . Dalam hal ini Negara Indonesia termasuk negara yang paling awal meratifikasi Konvensi Hak Anak. Semua Upaya-upaya ini dilakukan oleh pemrintah Indonesia tidak lain bertujuan untuk menjamin terpenuinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia, dan sejahtera (sebagai mana yang telah diatur di dalam UU No.23 Tahun 2002 Pasal 3) . Melihat dari keseriusan pihak Pemerintah yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, yang mana sudah membentuk suatu peraturan-peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memberikan dampak jerah terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak tersebut, dengan adanya ketentuan pidana didalam Undang-Undang Perlindungan Anak tepatnya BAB XII Ketentuan Pidana khususnya Pasal 80 (1) yang berbunyi ”Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) . Denan adanya aturan demi aturan yang di ciptakan oleh Negara Indonesia diharapkan dapat menjunjung tinggi hak-hak setiap anak.

Kajian Deskriptif Tentang Penegakan Hukum Oleh Hakim Di Tinjau Dari Aspek Antologi, Epistimologi, Axsiologi dan Ideologi

Kajian Deskriptif Tentang Penegakan Hukum Oleh Hakim Di Tinjau Dari
Aspek Antologi, Epistimologi, Axsiologi dan Ideologi
oleh:
Arming,S.H

I. Pendahuluan
Dalam mempelajari ilmu khususnya ilmu hukum secara detail dan perinci maka dapat kita ketahui ilmu hukum merupakan salah satu dari ilmu yang sangat urgen untuk dibahas baik dalam kalangan akdemis maupun dalam kalangan publik sekalipun, jika dijabarkan lebih jauh pada dasarnya dalam mencari ketaatan hukum perlu adanya sesuatu yang harus kita kaji yang merupakan menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji yakni tentang penegakan hukum dan keadilan hukum itu sendiri, mengapa demikian dua hal ini merupakan suatu hal yang sering menjadi perbincangan khususnya para ahli hukum dan para insan akademisi hukum yang mempunyai tugas untuk menciptakan keadilan di suatu Negara khususnya, Negara yang menyatakan diri sebagai Negara hukum. Kita ketahui bersama berdasarkan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mana sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI 1945) khususnya pada pasal 1 ayat (3) . Berangkat dari sinilah kita penting untuk mengkaji dan membahas lebih mendalam apa yang dimaksud dan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri dan keadilan itu sendri.
Hukum memiliki arti yang sangat penting bagi manusia. Hukum diperlukan demi kehidupan manusia itu sendiri. Peranan yang paling mendasar dari hukum adalah menjamin keadilan dalam tatanan sosial. Oleh karena itu dalam ranah etika, hukum dihargai dan pembatasnnya dibenarkan. Pembenaran ranah etika terhadap pembatasan normatif didasarkan pada dua argumen penting.
Pertama, pembatasan normatif tidak mematikan kemampuan setiap pribadi untuk menentukan dirinya. Itu berarti pembatasan normatif masih memberikan ruang kebebasan eksistensial bagi setiap individu. Secara konkrit dapat dikatakan, berhadapan dengan hukum atau peraturan, setiap orang mendapat kemungkinan untuk menaati peraturan atau melanggarnya. Kedua, pembatasan normatif menjamin keadilan. Ini merupakan hakikat dari hukum itu sendiri. Dengan kata lain, hukum dibuat adalah untuk menjamin agar hak setiap individu mendapat pengakuan dalam ranah sosial. Secara konkrit dapat dikatakan, aturan membuat, bahkan memaksa agar seseorang menghargai hak orang lain. Demikian halnya kalau ia merampas hak orang lain, ia mendapat sanksi. Sanksi adalah realisasi nilai keadilan dalam masyarakat. Dan sanksi harus setimpal dengan kesalahan. Dengan demikian keadilan sebagai nafas dari hukum tidak hanya terletak pada ketaatan pada hukum itu sendiri, tetapi juga pada pelanggaran atas hukum atau hukuman yang diberikan kepada pelanggaran hukum.
Jika kita tinjau dari sisi penegakan dapat dilihat pada arah sekitar kita khususnya dalam kehidup sehari-hari sering kita jumpai pernyataan sinis dari masyarakat bahwa hukum di negara kita belum ditegakkan sebagaimana adanya. Pernyataan ini bukannya lahir instan begitu saja tanpa alasan, tetapi lahir sebagai ungkapan rasa ketidak puasan atas fakta-fakta penegakkan hukum yang dalam banyak kasus masih sangat jauh dari harapan kehidupan bernegara hukum di negara kita. Tingkat kesadaran hukum masyarakat rupanya telah maju sedemikian rupa sehingga adanya ketidak betulan dalam hal penegakkan hukum langsung diresponi negative oleh masyarakat.
Masyarakat saat ini telah mengerti betul apa tujuan adanya hukum. Dimana harapan masyarakat itu sendiri tidak lain dengan adanya hukum dapat memberikan keseimbangan dalam tatanan berkehidupan bermasyarakat, dan juga dengan adanya hukum itu dapat terciptanya kenyamanan dan kedaimaian antara satu dengan yang lainnya, sehingga proses interaksi diantara sesamanya dapat terjalin dengan baik sehingga terciptanya kesejahteraan yang sesungguhnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejenak memandang dari sisi realistis yang terjadi dalam kehidupan yang senyatanya dapat kita lihat dari pada penegak hukum itu sendiri khusunya para hakim-hakim yang mempunyai fungsi yang cukup krusial dalam mencari keadilan, sering menyalahgunakan kewenangan yang telah diamanatkan (abus of power) sehingga hilangnya kepercayaan masyarakat secara luas kepada para penegak hukum khusunya para hakim dalam tujuan mulianya, yakni mencari keadilan yang hakikih. Hal yang semacam inilah yang perlu dibenahi oleh Negara ini, dengan cara meluruskan kembali pada koridor masing-masing para penegak hukum dalam mencari keadilan.
Salah satu tujuan hukum itu sendri yakni hendaknya membuat kebahagiaan dengan adanya keadilan yang hakikih. Dalam suasana keterpurukan seperti sekarang ini kita terdorong untuk mengjukan beberapa pertanyaan yang menjdi hal mendasar (fundamental) kita bernegara untuk apa? Diketahui bahwa hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar. Yang mana tujuan hukum itu dibentuk untuk bisa member kebahagian kepada masyarakat dan bangsannya.
Berangkat dari probelematika yang terjadi di atas secara konkret, melihat adanya keperluan yang paling mendasar mengenai penegakan hukum yang dilakukan oleh para hakim-hakim dan dalam mencarai keadilan hukum yang sampai saat ini memerlukan keseimbangan tanpa adanya diskriminasi hukum perlu adanya suatu keharusan pengkajian yang ditinjau dari aspek Antologi Hukum yang mana menjelaskan pada hakekat hukum yang sebenarnya, Epistimologi Hukum dengan mengkaji melalui asal-usul dari hukum tersebut yang mempunyai relevansi dengan penegakan hukum itu sendiri dan keadilan hukum itu sendiri, Axsiologi hukum yang mana pada nantinya dapat mempelajari dari nilai-nilai antara kedua objek pembahasan pada tulisan ini dan Ideologi untuk mengetahui gagasan-gasan dan landasan mendasar dari kajian ini.
Sehingga pada nantinya dapat member kejelasan yang cukup akuran mengenai cara penekan hukum dan keadilan hukum yang sesungguhnya agar dapat menjadi acuan dalam perbaikan tatanan hukum yang ada di Negara Indonesia pada khususnya.
II. pembahasan kajian deskriptif tentang penegakan hukum dan keadilan hukum di tinjau dari aspek antologi, epistimologi, axsiologi dan ideologi.
1. Dari Aspek Antologi
Jika mempelajari filsafat beberapa pengertian yang dapat kita ketemui diberbagai referensi yang telah ada salah satunya dalam bukunya Meuwissen yang diterjemahkan oleh Arif Sidharta yang berjudul “Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum” yang menjelaskan filsafat adalah kegiatan berfikir secara sistematika yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendri. Filsafat tidak membatasi dri tidak hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, fisikhikal atau kerohanian saja. Ia tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu yang lebih dalam cirri-rici kahs dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksikan hubungan teoeritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau difikirkan.
Konkretnya, dalam telaah sebagaimana yang dipaparkan di atas merupakan salah satu bidang antologi ilmu. Dalam konteks tersebut dapat dikorelasikan dalam bidang ilmu hukum antologi ilmu hukum pada hakikatnya menjawab apakah dari titik tolak dari ilmu hukum itu sendiri. doktrin seperti yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang mana pada dasarnya Hukum itu sendiri merupakan sebuah perangkat aturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat dan pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi.
Oleh karena itu, dalam tulisan lilik Mulyadi yang menjelaskan sebagaimana pandangan doktrin dan aspek praktek pada dunia peradilan yang mana hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai peranan yang cukup penting maka secara Universal ada 3 (tiga) aspek yang dipelajari dari Ilmu Hukum, yaitu :
a). Nilai-nilai hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum.
Apabila aspek ini dijabarkan secara singkat dapatlah diasumsikan bahwa “ nilai-nilai hukum “ini merupakan bidang kajian Filsafat Hukum yang abstrak/teoritis.
b). Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret.
Pada dasar “ kaidah-kaidah hukum “ ini dikaji oleh bidang yang disebut ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft).
c). Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.
Singkatnya, konteks ini dikaji oleh Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Logika Hukum, Psikologi Hukum dan Sejarah Hukum yang menjembatani aspek abstrak/teoritis seperti : Rechts Filosofie, Rechts theorie dan Rechts Dogmatiek dengan aspek imperis/nyata yang merupakan kajian Recht en Rechtspratijkheid.
Jika mengkorelasikan mengenai antologi hokum (hakikat hukum) dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim, sudah barang tentu sudah sebuah keharusan yang harus dijalani oleh seorang hakim dengan mengedepankan kejujuran. Dengan demikian kebebasan Hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia dibatasi oleh rambu-rambu berikut :
a. Akuntabilitas
b. Integritas moral dan etika
c. Transparansi
d. Pengawasan (kontrol).
Dalam hubungan dengan tugasnya sebagai hakim untuk menegakkan hukum hukum yang dalam arti sebenar-benarnya, maka harus bersifat independensi. Hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap impartialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan Hakim sebagai penegak hukum haruslah dikaitkan dengan :
a. Akuntabiltas
b. Integritas moral dan etika
c. Transparansi
d. Pengawasan (kontrol)
e. Profesionalisme dan impartialitas
Dengan adanya pertanggung jawaban moral dan etika terhadap seorang hakim yang mempunyai tugas untuk mengekkan hukum, tujuan dari hukum itu sendri lambat laun pasti akan tercapai secara maksimal, serta mencapai keadilan hukum yang sesungguhnya. Dengan adanya pertanggung jawaban moral dan etika serta adanya prosfesionalisme hakim hakikat hukum itu sendiri pasti dengan sendirinya akan terbentuk pula. Secara esensial dalam hal ini untuk menciptakan dan menemukan hakikat hukum itu sangat diperlukan penegak hukum yang betul-betul mempunyai idealisme yang tinggi dalam menjalani tugas sebagai penegak hukum.
2. Dari Aspek Epistimologi
Dalam pembahasan yang kedua ini yang mana akan mengkorelasikan antara penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim. Sebelum lebih jauh mebahas dan mengkaji mengenai “Epistimologi” perlu kiranya untuk mengetahui pengertian dari “epistimologi” itu sediri yakni epistimologi berasal dari bahasa yunani yang merupakan gabungan kata dari episteme dan logos, yang mana mempunyai arti episteme sebagai pengetahuaan dan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematis.
Dalam hal ini jika merelevansikan seorang hakim dengan penegakan hukum, sebelum mengkaji lebih jauh perlu kita memahami pengertian dari hakim tersebut, jika dikaji dari sisi terminologinya. Hakim yang dalam bahasa Inggris (Judge) dan dalam bahasa Belanda (Rechter) adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim juga sebagai orang yang paling berpengaruh di dalam suatu penegakan hukum mengapa demikian putusan akhir atau putusan final berada sepenuhnya ada pada seorang hakim yang memimpin suatu persidangan. Selain itu juga salah satu asas yang paling urgen mengenai hakim yakni asas ius curia novit yang mana mempunyai arti sempit hakim yakni orang yang dianggap paling tau tentang hukum. Dengan asas inilah seorang hakim mempunyai otoritas yang cukup kuat dalam memberikan penafsiran, pemutusan suatu perkara, dan menjatuhi suatu hukuman terhadap seorang yang dibawah ke meja persidangan.
Jika mengkorelasikan dengan penegakan hukum mengenai seorang hakim, dalam mencari kepastian hukum yang sesungguhnya diperlukan suatu ketegasan yang cukup kuat oleh para penegak hukum khususnya seorang hakim, dalam melakukan sesuatu yang menyangkut jiwa orang banyak khususnya pada dasarnya semua terpulang dari palu sidang seorang hakim yang mana pada nantinya memutuskan suatu perkara tersebut salah apa tidaknya suatu perkara tersebut. Sehingga dalam menegakkan hukum penting suatu gagasan yang kiranya dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat secara luas pada umumnya agar tidak terjadinya multi tafsir dalam memutuskan suatu perkara.
Dibentuknya suatu peradialan tidak lain dan tidak bukan untuk tegaknya suatu keadilan dan sebagai wadah dalam penyelesaian sengketa maupun perkara yang terjadi di dalam masyarakat, dengan harapan dengan adanya suatu pradilan yang kiranya dapat memberikan suatu hal yang dapat dijadikan kiblat khusunya Negara hukum untuk mencari kepastian hukum dan keadilan hukum yang hakikih. Sehingga peranan hakim yang cukup urgen tersebut apabila dijalankan sesuai dengan koridor yang ada diharapkan dapat memberikan penegakan hukum yang ideal di Negara hukum khusunya Negara Indonesia.
3. Dari Aspek Axsiologi
Jika ditinjau dari sisi axsiologi menurut penulis dalam hal kita perlu menjawab dari beberapa pertanyaan-pertanyaan yang menjadi hal yang sangat peting yakni: untuk apa dibutuhkan hukum itu? Untuk apa adanya seorang hakim dalam suatu penegakan hukum itu? Dan untuk apa adanya suatu penegakan hukum itu sendiri? Hal-hal inilah yang menjadi sangat penting dalam mengkaji dan membahas mengenai sisi penegakan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim, agar pada nantinya dapat memberikan pengkajian yang lebih detail mengenai objek yang menjadi kajian dalam tulisan ini.
Membicarakan mengenai penegakan hakum dinegeri ini seperti yang kita maklumi di negeri ini yang namanya hukum sangatlah sulit untuk ditegakkan. Dalam hal ini banyak sekali faktor yang membuat hukum kurang dapat ditegakkan dengan setegak-tegaknya. Salah faktor penting yang menurut penulis punya andil besar dalam lemahnya penegakkan hukum di negeri ini adalah tidak diterapkannya nilai-nilai yang semestinya melandasi tugas-tugas para aparatur penegak hukum kita (polisi, jaksa dan khusunya seorang hakim) yang mana sesui dengan ojek permasalahan. Menjadi pertanyaan yang sangat mendasar apa saja nilai-nilai yang diperlukan dalam menegakkan hukum itu sendiri ? dalam tulisan ini ada empat nilai yang sangat penting yakni:
1. Pertama, nilai keadilan;
2. Kedua, nilai keberanian;
3. Ketiga, nilai pengabdian dan kekayaan;
4. Keempat, nilai keagamaan.
Pertama, nilai keadilan. Dalam banyak kasus perkara dipengadilan banyak yang sama sekali tidak menggambarkan adanya keadilan di bidang hukum, yang terjadi adalah keadaan yang sebaliknya yaitu ketidakadilan. Seperti dalam hal berat/ lamanya hukuman, diskriminasi perlakuan terhadap para pesakitan serta masih adanya orang-orang tertentu yang tak tersentuh oleh hukum (kebal hukum). Contohnya adalah berat/ lamanya hukuman bagi seorang pencuri ayam kadang bisa melebihi hukuman dari seorang koruptor. Masih adanya pesakitan yang mempunyai status sosial ekonomi tinggi (pejabat atau orang kaya) diperlakukan istimewa, sedang orang yang tidak punya itu semua diperlakukan semena-mena. Belum lagi masih ada orang-orang yang berpengaruh apakah itu mantan pejabat negara ataupun konglomerat yang tak tersentuh oleh hukum. Sebut saja kasus mantan presiden Soeharto serta kasus-kasus lainnya.
Kedua, nilai keberanian. Nilai keberanian wajib dimiliki oleh semua aparatur penegak hukum di negeri ini. Yaitu keberanian mereka untuk menolak segala bentuk propaganda atau rayuan dari para pesakitan (terdakwa) serta berani untuk menghadapi segala bentuk ancaman dan intimidasi dari pihak terdakwa. Sebab kalau para aparatur penegak hukumnya telah tergoda untuk mau menerima segala macam bentuk sogokan/ suap, yang membuat mereka berusaha untuk meringankan bahkan membebaskan terdakwa dari hukuman. Kalau yang terjadi demikian, maka sampai kapanpun penegakkan hukum di negeri ini tidak akan dapat bisa ditegakkan. Belum lagi dalam banyak kasus, manakala aparat penegak hukum menolak segala macam bentuk propaganda tadi, maka sebagai konsekuensinya ia akan menerima banyak ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang mengancam keselamatan dirinya.
Ketiga, nilai pengabdian dan kekayaan. Nilai pengabdian tidak hanya wajib dimiliki oleh aparatur penegak hukum saja tapi juga oleh siapa saja yang mejadi aparatur pemerintah di negeri ini. Pengabdian mereka sangat dibutuhkan untuk memajukan dan memakmurkan rakyat dan negara, tak terkecuali pengabdian semua aparat penegak hukum kita yang punya andil besar untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sebab sudah menjadi ciri utama dari pemerintahan yang bersih dan berwibawa adalah hukum yang berlaku bisa ditegakan. Oleh karena itulah sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk dapat memberikan penghidupan yang layak terutama kepada kesejahteraan hidup para aparatur penegak hukummnya. Wajar bila pemerintah memberikan gaji yang tinggi kepada mereka mengingat tugas yang mereka emban adalah berat. Jadi tidak adalagi alasan bagi aparat penegak hukum untuk menerima sogok, suap dan yang sejenisnya karena kehidupannya ekonominya sudah mapan.
Keempat, nilai keagamaan. Semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk menjalankan perintah Tuhan dan meninggalkan segala bentuk larangan-larangan-Nya serta mangajarkan kebaikan tanpa adanya permusuhan yang satu dengan yang lainnya. Penulis yakin kalau semua penegak hukum memiliki nilai ini, Insya Allah penegakan hukum di negeri ini dapat diwujudkan. Sebab mereka akan memperjuangkan siapa yang benar. Mereka punya sikap, Siapa yang benar harus dibela dan siapa yang salah harus dihukum. Kemudian mereka tidak akan lagi menerima segala macam bentuk sogok dan suap, karena mereka meyakini menerima suap sogok adalah perbuatan dosa, dan barang siapa berbuat dosa akan mendapat ganjarannya di akhirat kelak. Semoga aparatur penegak hukum kita mampu membela kebenaran, menegakkan keadilan dan mempunyai kekuatan untuk dapat menolak segala macam bentuk sogokan.
4. Dari Aspek Ideologi
Mengenai penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim jika dikaji dan direlevansikan dengan penegakan hukum yang mana dalam hal ini perlu kita mengetahui mengenai pengertian tentang “Ideologi” itu sendiri ideology adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik.
Dalam aspek kajian penegakan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim dengan mengkaji dari sisi ideologi yang harus dilakukan oleh para hakim dalam memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum, diperlukan adanya penemuan hukum yang dilakukan oleh para hakim yang dalam hal ini memberikan ke dan mencari keadilan secara substasial dalam kata arti lain dalam hal ini para hakim diharapkan tidak hanya memberikan dan berpatokan pada procedural semata, yang dimaksud dengan memandang dari sisi substansial yakni memandang dari sisi keadilan sosial seperti yang diajarkan oleh Prof.Dr.Satjipto Raharjdo dengan ajaran hukum progresif yang mana dalam artian memberikan ajaran keadilan sosial dalam memberikan penegakan hukum yang ideal dalam mencari keadilan yang sesungguhnya.

DAFTAR BACAAN
Jaya Atma, “Membangun Hukum, Membela Keadilan” http://www.atmajaya.ac.id//,2010

Lamandasa Flora Raimond, “Penegakan Hukum”, http://www.scribd.com/doc/ , 2007.

Rahardjo Satjipto, “Membeda Hukum Progresif”, Jakarta,Kompas, 2008.

Sidharta Arief, “Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum”,Bandung, ”, PT. Refika Aditama, 2009.
Sidharta Arief, “Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum”, Bandung, PT. Refika Aditama,2009.

Web Side

Google.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Judo,

PENAFSIRAN HAKIM

Pentingnya Penafsiran Hukum Oleh Hakim
Dalam Mencari Keadilan Di Negara Hukum
Oleh:
Arming,S.H

A. Latar Belakang
Al-qur’an, rujukan pertama sebelum hadist, adalah respon Allah terhadap problematika kemanusiaan. Ia turun sebagai bentuk kepedulian Allah tehadap makhluk-Nya. Ia adalah bukti ke-Agungan dan ke-Murahan. Mengarahkan manusia kepada kebaikan. Menunjukan jalan yang benar. Menyelamatkan manusia dari kesesatan dan mengajak manusia kepada kebajikan serta mendorong manusia untuk progressif menuju terciptanya tatanan masyarakat yang ideal.
Namun demikian, al-Qur’an tidak serta merta memberikan gambarang penyelesaian sebuah masalah ketika masalah itu timbul secara jelas dan absolute Ini semua disebabkan karena ia adalah kalam ilahi, bukan kalam manusia, yang mana didalamnya terdapat disparitas yang mencolok antara pemahaman manusia dan kalam ilahi terhadap kata dan makna. Sedari itu perlu adanya seorang mufassir yang bertugas mengupas tuntas disparitas antara kata dan makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam hal ini urgensi penafsiran dan mufassir ini tidak lepas dari kandungan al-qur’an yang tidak semuanya bersifat eksplisit, namun implisit. Hal-hal yang bersifat implisit inilah yang perlu kirannya untuk di kaji dan dibedah makna yang tersimpan didalamnya. Selain itu karena bagian-bagian al-qur’an ada yang bersifat kompleks dan memerlukan penjabaran, semu yang memerlukan penjelasan, dan seterusnya.
Yang demikian itu diperlukan sebagai penguat posisi al-qur’an sebagai penjelas segala sesuatu. Maka dari itu, ketika al-Qur’an dirasa tidak bisa memberikan pemahaman secara gamblang diperlukan seorang mufassir yang bertugas mengupas tuntas permasalahan dan problematika makna dalam al-Qur’an.
Berangkat dari permasalahan di atas dapat kita ketahui bersama bahwa sejak zaman dahulu tafsir itu sudah di anut dalam agama, sehingga dikembangkan sampai kepada dunia hukum sekarang seperti yang kita alami pada saat ini. Membicarakan mengenai tafsir dalam Negara hukum seperti Indonesia ini sangat diperlukan oleh para hakim-hakim pada khususnya sehingga dalam meberikan putusan tidak terjadinya multi tafsir dan kesalahan di dalam menegakkan keadilan.
Jika memandang teori hukum berasal dan merupakan gabungan dari dua suku kata Teori dan Hukum . Dimana salah satu pertanyaan pertama ketika awal mempelajari dan berbicara mengenai hukum adalah apakah hukum itu?, akan tetapi baik mulai sejak Plato sampai Hart, dari Aritoeteles hingga Dworkin, sampai dengan saat ini belum terdapat jawaban dan definisi atau rumusan pengertian mengenai hukum yang memuaskan dan baku, melainkan pengertian hukum dikaitkan dengan teks dan konteks apa hukum tersebut dibicarakan. Teori hukum, menurut Bruggink, adalah merupakan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang telah dipositifkan.
Sebagaimana teori pada umumnya, demikian pula teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Sedangkan Teori hukum dapat dikatakan sebagai proses, adalah karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritik tentang hukum atau bidang hukum.
Sebagian masyarakat Indonesia masih ada yang beranggapan, bahwa teori berada di kawasan yang jauh daripada praktis, bahkan sering menimbulkan kesan tidak praktis dan kurang membantu memecahkan persoalan-persoalan secara konkret. Singkat kata, teori itu menghambat, bertele-tele, dan memusingkan. Pendapat tersebut, tentu saja tidak benar. Fungsi utama teori adalah memberikan penjelasan terhadap suatu masalah. Semakin baik kemampuan suatu teori untuk menjelaskan, semakin tinggi penerimaan terhadap teori tersebut. Apabila di kemudian hari muncul teori baru yang mampu memberikan penjelasan yang lebih baik, maka teori yang lama pun akan ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah dalam dunia ilmu pengetahuan.
Suatu ilmu tanpa teori yang kuat, bagaikan bangunan tanpa pondasi yang kukuh. Demikian juga ilmu hukum sebagai suatu sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan wawasan berbagai ”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law, Jurisprudence), maupun ”konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama dalam rangka mengisi pembangunan di bidang hukum dalam era reformasi . Bukan hanya tuntutan lahirnya suatu atau berbagai peraturan perundang-undangan yang baru, tetapi juga termasuk paradigma baru hukum, yang cocok bagi iklim perubahan Indonesia di abad kedua puluh satu ini.
Salah satu contoh yang menarik, suatu peristiwa yang memerlukan sebuah teori, untuk memecahkan kebuntuan atas munculnya beberapa opini dan pendapat, ketika Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji, dinilai oleh berbagai pihak illegal (tidak sah). Kenapa tidak sah?, karena pada saat pelantikan Kabinet Pemerintahan Jilid II oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, Hendarman Supanji tidak ikut dilantik sebagai Jaksa Agung RI, padahal Jaksa Agung, adalah salah satu jabatan, pejabat negara yang ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid II. Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka sudah barang tentu dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus ini, harus melalui pendekatan teori hukum.
Dan juga salah satu contoh lagi dapat kita lihat, yaitu kasus Bank Century, di mana di perlemen (DPR), telah dilakukan langkah dan upaya demokrasi dengan cara para anggota DPR dipersilahkan memilih, opsi A atau opsi C. Pilihan ini dilakukan dalam menentukan benar atau tidaknya terdapat pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century, yang pada akhirnya telah dilakukan vooting pada sidang pleno. Hasil vooting suara, ternyata suara terbanyak ada pada opsi C, sehingga DPR menyimpulkan bahwa dalam kasus Bank Century terdapat pelanggaran hukum dan hasil pleno DPR tersebut, harus dibawa ke rana hukum. Persoalannya sekarang, dan menimbulkan pertanyaan besar bahwa apakah benar suatu kebenaran harus ditempuh dan diperoleh dengan cara atau melalui hasil vooting suara.
Dalam berbagai kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali menimbulkan pendapat pro dan kontra yang kemudian mencuat menjadi bahan perbincangan publik. Salah satu penyebabnya tidak lain karena para penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara) seringkali mempunyai persepsi maupun penafsiran yang berbeda dalam menangani suatu kasus, meskipun sebenarnya landasan hukum dan aturan main (rule of game) yang digunakan sama.
Sebut saja kasus yang pernah terjadi misalnya ketika Hakim Bismar Siregar menganalogikan “kemaluan wanita” sebagai suatu “barang”, sehingga seorang pria yang ingkar janji menikahi pasangannya dapat dianggap telah menipu “barang” milik orang lain (Pasal 378 KUHP). Kemudian dalam kasus pengajuan Peninjauan Kembali, Jaksa Penuntut Umum menganggap dirinya berwenang meskipun KUHAP tidak mengatur masalah itu, perbedaan interpretasi dalam menentukan delik pornografi atau pada kasus yang terjadi beberapa waktu lalu di Yogyakarta ketika termohon pra peradilan dalam eksepsinya mendalilkan bahwa pelecehan seksual tidak diatur dalam perundang-undangan (KUHP).
Dalam konteks hukum, perbedaan tafsir terhadap perundang-udangan sebenarnya hal yang biasa terjadi sejak zaman dulu. Meskipun demikian, terhadap kasus-kasus seperti itu, perlu kiranya mendapat perhatian dan kajian yang serius di masa mendatang, supaya tidak berdampak merugikan kepentingan pencari keadilan (justiciabel).
Dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan yang belum diatur dalam perundang-undangan ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap. Bahkan seperti dikemukakan Sudikno Mertokusumo, bahwa tidak ada hukum atau UU yang lengkap selengkap-lengkapnyanya atau jelas dengan sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu kalau UU-nya tidak jelas atau tidak lengkap harus dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan hukumnya.
Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).
Kalau mengacu kepada UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebenarnya ada beberapa ketentuan yang bisa menjadi rujukan. Pasal 14 ayat (1) menyatakan “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan demikian hukum yang tidak ada atau kurang jelas, tidak dapat dijadikan alasan penolakan bagi Hakim terhadap suatu perkara yang diajukan pencari keadilan.
Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) menyebutkan “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang”. Pasal 5 ayat (1) ini tentunya lebih luas ruang lingkupnya dibandingkan Pasal 20 AB, yang menyebutkan Hakim mengadili menurut Undang-undang, karena pengertian “hukum” di sini bisa dalam arti hukum tertulis (perundang-undangan) maupun hukum yang tidak tertulis (hukum adat atau kebiasaan). Pentingnya Hakim memperhatikan hukum tidak tertulis ini dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) yang menegaskan “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Apabila dicermati, pasal-pasal di atas terutama berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban seorang hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Dalam kaitan ini, Hakim perlu juga memperhatikan idee des recht, yang meliputi tiga unsur, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), keadilan (Gerechtigkeit) dan kemanfaatan (Zweckmassigkeit) secara proporsional. Tetapi memang bukan hal yang mudah untuk dapat mengakomodir ketiga unsur tersebut.
Suatu masalah yang secara normatif jelas kepastian hukumnya belumlah tentu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sebaliknya sesuatu yang adil belum tentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini, patutlah direnungkan pendapat Bismar Siregar, bahwa hakim harus berani menafsirkan Undang-undang (UU) agar UU berfungsi sebagai hukum yang hidup (living law), karena Hakim tidak semata-mata menegakkan aturan formal, tetapi juga harus menemukan keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Senada dengan itu, Thomas Aquinas mengemukakan bahwa esensi hukum adalah keadilan, oleh karena itu hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Demikian pula apabila dilihat dari kepala putusan bukanlah demi kepastian hukum, tetapi berupa kalimat yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam ajaran Islampun apabila seseorang memutuskan sesuatu hukuman di antara manusia, diperintahkan untuk memutuskan dengan adil. Al Qur’an Surat An-Nisa :58 menegaskan : “…dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…”. Dengan demikian menurut hemat kami, keadilan harus ditegakkan dan menjadi titik tekan dalam penegakan hukum tanpa mengabaikan kepastian hukum itu sendiri.
Begitu pentingnya peran dan tugas Hakim dalam penegakan hukum, maka dalam hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua persoalan hukumnya (ius curia novit), di mana pada saatnya nanti akan menentukan ‘hitam putihnya” hukum melalui putusan-putusannya. Tidak mengherankan, Hakim sering menjadi tumpuan harapan bagi tegaknya hukum dan keadilan di tanah air ini, meskipun harapan tersebut tidak selalu menjadi kenyataan.

B. Rumusan Masalah
Dalam pemaparan yang telah terterah di atas dalam tulisan ini akan di jadikan permasalahan adalah:
1. Seberapa besar pengaruh Penafsiran Hakim dalam menegekkan hukum di dalam Negara hukum?

C. Pembahasan
Berbicara mengenai peranan hakim, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, dalam mencipta keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat serta dalam rangka untuk mencari keadilan hukum khusunya dalam Negara hukum seperti Indonesia pada umumnya yang, mana Indonesia sudah meprokalamirkan sebagai Negara hukum yang tertuang dalam Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia) khusunya pasal 1 ayat (3) .
Antara Undang-undang dengan Hakim yang memimpin suatu pengadilan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan terdapat beberapa aliran yaitu:
1. Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap kramat karena merupakan peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional. Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
2. Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.
a. Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan—bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.
b. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat. Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.
c. Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G. Gurvitch.
d. Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem terbuka, open system van het recht—karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum.
Menurut Mertokusumo ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah “Penemuan Hukum”, yaitu ada yang mengartikannya sebagai “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”. Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit. Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan Penciptaan hukum ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka kewajiban hakimlah untuk menciptakannya. Dari ketiga istilah tersebut, menurut Mertokusumo, istilah yang lebih tepat adalah Penemuan Hukum, karena sesuai dengan ketentuan pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman.
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, ada dua jenis yaitu: (1) Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. (2) Penemuan Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-udang.
Sedangkan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis yaitu:(1) Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. (2)Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;
b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. Metode penafsiran letterlijk atau literal
Yang mana metode ini diartiakan penafsiran letterlijk atau harfia yang dalam hal ini difokuskan pada arti atau makna kata (word). Utrecht memberikan penjelasan mengenai penafsiran menurut arti kata istilah (taalkudige interpretasi) yaitu kewajiban bagi hakim mencari arti kata dalam Undang-Undang dengan membuka kamu bahasa atau meminta keteranagan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup hakim harus mempelajari kata peraturan-peraturan yang lainnya. Cara penafsiran ini, munurut Utrecht, merupakan penafsiran pertama yang ditempu atau usaha permulaan untuk menafsirkan
2. Metode Penafsiran Gramatikal (Bahasa)
Metode Penafsiran Gramatikal (Bahasa) atau interpretasi bahasa merupakan penafasiran yang menekankan pada makna teks yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna tekni yuridi yang sudah tertib hukum kodifikasi, teks harfiah undang-undang dinilai sangat penting. Namun penafsiran Gramitikal saja dilah cukup jika tentang hal-hal yang ditafsirkan itu sudah menjadi perdebatan.
3. Metode Penafsiran Restriktif
Pitlo dan Sudikno mengartikan penafsiran ini sebagai menafsirankan dengan cara membatasi penafsiran sesuai dengan kata yang maknanya sudah tertentu. Jika suatu norma hukum yang sederhana sudah dirumuskan sudah jelas dan expresis verbis, tidak diterapkan lagi untuk menetapkan metode-metode penafsiran yang bersifat kompleks. Cukuplah hal tersebut dipahami dengan maknanya yang sudah jelas itu.
4. Metode Penafsiran Ekstensif
Menurut Pitlo dan Sudikno, hasil penafsiran ini melebihi hasil penafsiran gramatikal. Penalaran yang digunakan dalam metode Eksistensif ini merupakan kebalikan dari penalaran metode restriktif. Penafsiran restriktif bersifat membatasi, sedangkan penafsiran ekstensif bersifat memperluas sehingga penafsiran sehingga penafsiran tidak hanya dilakukan pada batas-batas pemaknaan teknis dan gramatikal kata-kata yang terkandung dalam suatu rumusan norma hukum yang bersangkutan.
5. Metode Penafsiran Autentik
Penafsiran autentik atau resmi menurut Uctrech, merupakan penafsiran sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pembut undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri, misalnya arti kata yang menjelasakan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.
6. Metode Penafsiran Sistematik
Metode ini menafsirkan menurut system yang ada dalam hukum itu sendiri artinya. Yakni menafsirkan dengan melihat naska-naska hukum lainnya. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dalam undang-undang ketentuan-ketentuan yang sama apalagi suatu asas dalam peraturan lainya juga harus dijadikan acuan.
7. Metode Penafsiran Sejarah Undang-Undang
Metode ini berdasarkan diri pada makna histori yang dalam perumusan undang-undang itu sendiri. Metode penafsiran ini salah satu metode penafsiran sejarah dalam arti sempit yaitu, dengan merujuk pada sejarah penyusunannya, membaca risalah, komisi-komisi, dan naska-naska yang lain mempunyai hubungan termasuk surat – menyurat yang berkaitan dengan penyusuan undang-undang. Menurut Utrecht penafsiran sejarah undang-undang memfokuskan pada latar belakang sejarah rumusan naska, dan bagaimana perdebatan yang terjadi ketika naska hendak dirumuskan.
8. Metode Penafsiran Historis arti luas
Metode penafsiran dangan sejarah hukum, dalam hal ini mencakup dua pengertian yaitu; (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang, (ii) penafsiran sejarah hukum itu sendri, yaitu melalui penafsiran sejarah hukum yang bertujuan untuk mencari makna yang dikaitkan dengan masa lampau.

9. Metode Penafsiran Sosio-Historis
Metode ini menyangkut penafsiran sosio-historis ini mempertimbangkan pula berbagai konteks perkembangan masyarakat yang melahirkan norma yang hendak ditafsirkan dengan seksama. Dipihak lain ini lebih memusatkan perhatian pada konteks sejarah masyarakat yang memengaruhi rumusan naskah ketika norma hukum yang bersangkutan terbentuk di masa lalu.
10. Metode Penafsiran Sosiologis
Motode Penafsiran Sosiologis (sociological interpretation) ini mendasarkan diri pada penafsiran yang bersifat sosiologis yang mana dalam hal ini adalah konteks sosial dimana ketika suatu nasaka dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naska. Peristiwa yang terjadi dimasyarakat acapkali mempengaruhi legislator ketika subuah naska hukum dirumuskan.
11. Metode Penafsiran Teleologis
Metode penafsiran ini memusatkan perhatian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai dalam norma hukum yang ditentukan dalam teks. Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan jangka waktunya.



12. Metode Penafsiran Holistik
Metode Penafsiran Holistik merupakan aspek keseluruhan unsure yang terkait. Yang mana penafsiran ini mengaitkan penafsiran suatu naska hukum dangan konteks keseluruhan dari jiwa naska hukum tersebut. Ide yang terkandung dalam metode ini mengandaikan bahwa setiap naskah hukum seperti undang-undang ataupun dasar undang-undang dasar harus dilihat sebagai satu kesatuan system norma hukum yang terikat untuk mumm.
Selain itu, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
1. materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Hakim tersebut;
2. tempat dimana perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi;
3. zaman perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi.
Berkaitan dengan interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis (konstruksi), yang terdiri 4 (empat) jenis yaitu:
1. Argumentum Per Analogiam (Analogi) atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
2. Argumentum A Contrario (a contrario), merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya.
3. Enghalusan Hukum (rechtverfijning) atau penyempitan hukum (penghalusan hukum) atau determinatie (pengkhususan) atau Pengkonkritan hukum (Refinement of the law). Jadi Hakim bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan hakim melakukan pengecualian-pengecualian (penyimpangan-penyimpangan) baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan diperjelas oleh Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang dihadapkan padanya.
4. Fiksi Hukum (fictio juris), yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya.
Dengan demikian, Hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto.
Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum (Rechtssicherheit) , kemamfaatan (Zweckmassigkeiit) dan Keadilan (Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut.
Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak boleh hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan begitu saja. Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa suatu putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.
Sehingga dalam hal ini pertingnya seorang hakim memandang suatu tafsir agar dapat mencapai kesempurnaan hukum dengan dasar-dasar nilai akdemisi yang telah ada, sehingga dalam mengambil suatu putusan tidak mendapatkan kontroversi yang cukup sengit dari pada para ahli-ahli hukum khususnya.

D. Penutup
Oleh karena Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat, maka agar dapat memahami suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang bersangkutan.
Meskipun teori hukum tidak difokuskan pada tahapan penyelesaian sengketa dan tidak difokuskan pula pada hukum positif tertentu, akan tetapi teori hukum dapat digunakan sebagai pisau analisis dengan pendekatan aliran hukum positif dan aliran penemuan hukum oleh hakim, untuk mengkaji peranan dan putusan hukum hakim.
Putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut. Relevansi dengan penafsiran terhadap hakim gunakan dalam suatu persidangan atau dalam memutus suatu perkara perlu adanya tafsir hukum yang menguatkan amar putusan hakim yang akan dijatuhkan agar tidak terdapatnya multi tafsir dalam hukum tersebut dan juga pada nantinya diharapkan dapat memberikan penegakan hukum yang sempurnah dalam Negara hukum khususnya.








SUMBER BACAAN :

Bambang Sutiyoso, 2008, “Penafsiran Hukum Penegak Hukum” http://masyos.wordpress.com/penafsiran-hukum-penegak-hukum.

Hamid Afief , 2008 “Menyibak Probelmatika Tafsir Bi Al Ma’stur”.http://www.kaweki.ac.id.

Jimly Asshiddiqie, 2010 “ Pengantar Ilmu Tata Negara”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

hukum progresif dan tindakan hakim

Tinjauan Hukum Progresif Relevansi Dengan Tindakan Hakim
Dalam Pengadilan Pada Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung

A. Latar Belakang
Membahas dari sisi undang-undang bukanlah tidak perlu dan juga bukan suatu kemutlakan dalam sebuah Negara hukum yang kita ketahui bersama tetapi tidak ada salahnya dalam tujuan untuk meberikan keadilan di Negara Indonesia khusunya jika kita membahas mengenai hukum yang sedikit diluar dari peraturan perundang-undangnyakni hukum progresif yang dalam dunia akademisi juga kita dapatkan sebagai pengayaan perbendaharaan berfikir dalam dunia hukum, sehingga proses dalam dunia pendidikan kita tidak bersifat setatis semat melainkan bersifat dinamis dalam artian mepelajari dari beberapa ilmu hukum yang berkembang.
Indonesia adalah negara yang berdasarkankan atas hukum dan tidak didasarkan atas kekuasaan. Hukum khususnya harus dijadikan panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup manusia dalam menjalani hidup didunia ini. Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan baik faktor peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia (kemashalatan manusia), khususnya kebahagiaan manusia di dunia.
Namun didalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah masalah krusial yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum dijadikan alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat dan bukan tujuan keadilan semata.
Hukum dan keadilan merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Hukum gagal memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda (sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang cenderung menipu dan mengecewakan.
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerat kepada paradigma tunggal yakni positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang (peraturan tertulis semata), sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hokum.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum - hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks.
Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem hukum yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan lebih mengedepankan keadilan ditengah masyarakat dari pada keadilan yang dikebiri oleh Penguasa.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya pada nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.
Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan . Isu umum yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur pada nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum. UUD (ujung-ujung duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan. Dalam mecari keadilan di dalam Negara hukum suatu penentu yakni dalam palu sidang hakim yang dijatuhkan pada putusan akhir.
Dalam hal ini perlunya menciptakan hakim yang sangat berani dalam menegakkan keadlilan hukum yang sesungguhnya dalam artian tidak hanya memutuskan suatu perkara dengan melihat pada fakta dalam persidangan semata. Dalam hal ini kita masyarakat hukum perlu mencari keadilan dengan penegasan pada para hakim sebagai kepanjangan tangan dari tuhan.
B. Rumusan Masalah
Dalam hal ini beranjak dari permasalahan yang telah ada di atas, permasalah yang akan di kaji dalam tulisan ini adalah bagai mana tindakan hakim Mahmakah Agung dalam menerapkan hukum progresif dalam menegakkan keadilan hukum di Negara hukum?
C. Pembahasan
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan di dalam mencari sebuah keadilan. Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making), ini lah wajah hukum progresif yang sesungguhnya secara esensial dapat dipahami untuk mencari hakekat hukum yang sesungguhnya.
Hal yang juga termasuk urgen dalam hukum progresif yakni bagimana menuntut keberanian aparat hukum khusunya seorang hakim dalam menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa ini kearah yang lebih baik. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya juga semua masyarakat yang berada di Negara Indonesia khusunya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak dan abadi sampai kapanpun. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan dan keadilan yang sesungguhnya.
Tetapi melihat realitas Negara Indonesia khusunya yang mana menyatakan diri sebagai sebuah Negara hukum yang mana sudah tercantum di dalam hukum dasar yakni konstitusi (Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) khusunya pada pasal 1 ayat (3) yang berbunyai; “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum” yang mana patokan dalam penyelesaian suatu permalahan yang terjadi di Negara Indonesia harus diselesaikan secara undang-undang tertulis (terkodifikasi), sehingga para hakim khusunya dalam menegakkan hukum untuk mencari suatu keadilan harus menjadikan kibalat suatu undang-undang yang sudah diratifikasi oleh para legislator. Pertanyaan yang paling mendasar dalam pembahasan ini apakah para hakim berani memasukkan hukum progresif dalam menempu keadilan yang seutuhnya dalam suatu peradilan yang menganut sistem Negara hukum tertulis seperti Indonesia ini?
Lahirnya hukum progresif dapat dikatakan sebagai hukum yang bertentangan dengan hukum prositivisme, dalam hal ini menurut salah satu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Di Ponegoro (UNDIP) yang terkenal sebagai pecetus aliran progresif ini yakni Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata dan hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan Intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian hakim untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan dalam artian para hakim harus dapat memberikan keadilan social yang ada pada pelaku tindak pidana khususnya.
Sehingga bagaimana bila ide pengadilan progresif dikaitkan dengan tingkat kasasi? Kita tahu, pada tingkat kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta (judic facti). Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang bisa berkesimpulan, yang diperlukan Mahkamah Agung hanya membaca teks undang-undang dan menggunakan logika hukum.
Berdasarkan hal-hal yang terungkap dalam tingkat-tingkat persidangan sebelumnya, Mahkamah Agung akan memeriksa apakah peraturan yang digunakan hakim di Pengadilan Negerai dan Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif itu sendiri dalam rangka menegakkan hukum. Pengadilan progresif adalah proses yang sarat dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani, dan sebagainya.
Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan dengan baik manakala pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan kredo "peraturan dan logika". Di situ hakim akan bisa menyaksikan sendiri "daging dan darah" perkara yang diperiksa. Pengadilan bisa menangkap penuh aroma perkara. Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta yang tersaji tanpa mengorek lebih jauh dari beberapa sisi yang termasuk ugen dalam menyelesaikan suatu masalah tersebut. Di sini orang hakim lebih bertumpu pada bagaimana suatu teks Undang-undang tertulis akan dibaca untuk kemudian diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen.
Benarkah keadaannya seperti itu? Apakah pada waktu membaca Undang-undang itu kepala hakim benar-benar (bisa) "dikosongkan"? Apakah pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya berlangsung secara bebas nilai? Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia, kompleks atau predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan bagaimana suatu teks itu dibaca dan diartikan secara aturan yang ada (aturan-aturan tertulis yang bersifat undang-undang).
Kasasi linier dan nonlinier. Pikiran (mind-set) positif tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan. Cara berpikir hukum seperti itu di sini disebut "linier". Memang itu amat mudah, tetapi dangkal (lihat Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual). Di sini kita bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Negara Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam Undang-Undang, tetapi masih harus ditemukan". Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan. Cara lain adalah melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial dalam arti hukum progresif itu sendri. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial". Tulisan ini ingin mengatakan, betapa kecil pun sudut masuk aspek pengadilan kasasi, ia tetap ada dan itu semua tergantung pada hakim-hakimnya yang memimpin persidangan tersebut “ mengapa demikian karena salah satu asas hukum pidana mengatakan” “ius curia novit” dengan arti dimana hakim orang yang dianggap paling tau tentang hukum.
Hakim progresif. Pengadilan progresif mengikuti Maksim yang menyatakan, "hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi Undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya (dapat dibaca pada literature yang berjudul Perang di Balik Toga Hakim, Kompas, 9/7/2003). Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di tengah masyarakat, berarti ia berbagi sukaduka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat. Melalui putusanputusannya, hakim suka disebut mewakili suara mereka (suara rakyat) yang tak terwakili (unrepresented) dan kurang terwakili (under-represented). Hakim yang berpikiran progresif, menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan selalu menanyakan, "Apakah peran yang bisa saya berikan dalam masa reformasi ini" Apa yang diinginkan bangsa saya dengan reformasi ini? Dengan demikian, ia akan menolak bila dikatakan pekerjaannya itu hanya mengeja suatu perundang-undangan. Hakim progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya yang semata-mata mencari keadilan yang hakikih tanpa adanya diskriminasi dalam mengekkan hukum yang sesungguhnya.
Hakim sekaligus sosiolog. Indonesia tidak kekurangan contoh menarik dalam dunia pengadilan dan hakim, khususnya dalam kaitan dengan gagasan penegakan hukum progresif. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap Negara. Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut Mahmakah Agung, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia sudah menjadi Negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya, dengan tujuan semata-mata hanya mencari keadilan karkayat.
Teringat dengan seorang "hakim kecil", tetapi pantas menjadi teladan bagi "hakim-hakim besar". Ia mengatakan, moralitas saja tidak cukup, yang paling penting adalah keberanian, ucap Teguh Haryanto. Memang untuk menciptakan pengadilan progresif tidak hanya dibutuhkan komitmen moral, tetapi juga keberanian. Hakim-hakim yang memiliki nurani kuat adalah satu hal dan yang memiliki keberanian untuk menampilkan komitmennya adalah hal lain. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang mencoba melawan korupsi dalam tubuh Mahkamah Agung akhirnya harus menerima risiko pahit. Bangsa kita sebaiknya menaruh hormat kepada hakim-hakim yang akhirnya harus mental hanya karena keinginan untuk memperbaiki citra pengadilan. Dari beberapa contoh di atas ini memang sangat sulit menemukan hakim yang mempunyai keberanian dan mempunyai visi untuk menciptakan keadilan yang sesungguhnya yakni keadilan hukum. Dalam hal ini sudah saatnya Negara Indonesia tidak terpuruk pada hal-hal yang normative saja melainkan pada keadilan sosial itu sendiri sehingga tidak terjadinya penyimpangan dalam nilai keadialan memang dalam merumuskan konsep keadilan progresif bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Negara Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modren disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan di Negara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi.
Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti suatu pengadilan khususnya pada tingkat kasasi yang dijalankan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan , ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) Pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut dalam artian keadilan hukum yang memihak kepada rakyat bukan hanya pada para kuam penguasa semata, dengan begitu terciptanya keadilan hukum yang baik. Kita mengetahui seorang hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan.
Sehingga dalam tulisan ini dalam menegakkan hukum dalam suatu Negara hukum hakimlah yang paling menentukan untuk menciptakan suatu pengekaan yang pada nantinya dapat meberikan kepastian hukum yang sesungguhnya dengan mengedepankan beberapa unsur sebelum memutuskan suatu perkara. Salah satunya dengan memasukkan aliran progresif dalam mencari keadilan, karena hukum progresif dapat memberikan kesempurnaan suatu Negara hukum. Selain itu tidak hanya hakim yang mempunyai tugas dalam menegakkan keadilan semata, juga para sarjana hukum dan para penegak hukum di Negara Indonesia ini. Tetapi tentu dengan landasan-landasan yang logis untuk menetapkan hukum yang pada nantinya tidak mengandung diskriminasi (tidak membeda-bedakan). Yang mana dalam tujuan memasukkan nuansa hukum progresif dalam Negara hukum formal ini semata-mata untuk menciptakan hukum yang ideal. Sehingga pada nantinya semua persoalan yang terjadi (problematika) yang terjadi di Negara hukum seperti Indonesia ini diserahkan sepenuhnya kepada hukum, Negara, dan perangkat pendukungnya.
Sehingga pada nantinya kepercayaan masyarakat sepenunya diserahkan kepada Negara dalam mencari keadilan melalui lembaga-lembaga peradilan yang telah ada baik Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahmah Agung (MA), tanpa adanya keraguan masyarakat secara luas.
D. Kesimpulan
Dalam tulisan singkat ini sampai pada kesimpulan yang kiranya dapat memberikan pandangan yang dapat membangun dalam dunia hukum kita dan dunia akademisi hukum khusunya yakni. Dalam menegakkan hukum tidaklah para penegak hukum khususnya hakim hanya berkutat pada hal prosedur hukum (peraturan perundang-undangan) semata, melainkan kiranya para hakim khususnya dalam menegakkan hukum dapat memberikan pembaharuan hukum yang secara substansial. Dengan cara meberikan keadilan sosial dengan adanya pandangan-pandangan hukum progresif, yang dijadikan salah satu pertimbangan dalam memberikan pertimbangan hukum, sebelum memutuskan suatu perkara dalam suatu persidangan, sehingga pada nantinya dapat terciptanya suatu keadilan hukum yang ideal dalam penerapan di Negara hukum itu sendri.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme